Wednesday, November 11, 2015

Mimpi

Seperti mencari kata di tumpukan paragraf tak berima, aku menyusuri detik-detik keheningan waktu hujan rintik. Sore ini kelam. Jalan itu basah. Dan aku terdiam. Dari balik jendela, aku menurunkan pandanganku ke arah deretan kendaran di jalanan panjang itu. Dalam bau hujan, aku lalu terbawa kepada mimpi-mimpi sederhanku; aku harus ada di tempat yang aku kehendaki, melakukan hal yang aku sepakati bersama orang-orang yang aku setujui. Tidakkah itu sederhana? Tapi mengapa aku masih di sini melakukan itu dan bersama mereka? Entahlah. Jawabannya pun tak ada di secangkir kopi yang tiada lagi hangat di genggamanku ini.

Sunday, October 18, 2015

Selamat ulang tahun, Molly.

Dan kemudian 5 itu kini menjadi 6. Genap genep tahun sudah doa-doa baik itu terhempas untuk kemudian aku aamiin-kan. Dalam deret-deret angka yang menjelma usiamu, semoga Tuhan selalu menyamarkan sedikit demi sedikit ganjilmu. Semoga Tuhan dengan erat memelukmu bersama doa-doa orang yang mengasihimu. Sesungguhya doa yang khusyuk adalah yang lebih menenangkan.

Dan kini aku berharap 6 ini akan kemudian menjadi 7, 8, 9, 12, 18, 24, 36, dan berujung hingga akhir usiaku, usiamu. Menelusurimu bukan hal yang mudah. Enam tahun belum cukup membuatku mumpuni ilmu paham. Aku belum sepenuhnya mengerti dirimu dan karena itu semoga Tuhan memberi banyak waktu.

Tahun lalu aku bertanya sendiri, bagaimanakah kita satu tahun yang akan datang. Ternyata tidak banyak berubah. Tahun lalu kita pergi ke kampus seiring sejalan. Makan di meja yang sama. Dan tertawa untuk hal yang sama pula. Kini, setahun setelahnya, toh kita masih sering melaju bersama walaupun tujuannya sudah berbeda. Masih sering makan bersama. Dan yang paling tidak berubah, kita masih tertawa untuk hal yang sama. Yang terakhir ini yang paling penting kukira. Setuju kan?

Selamat ulang tahun, Molly.

Sunday, September 27, 2015

Wisuda

Beberapa hari terakhir, lagi heboh wisuda ilegal yang digerebek Dikti di daerah Ciputat, Tangerang Selatan. Mereka yang wisuda diduga hanya beli ijazah. Wisudanya abal-abal. Lihat video-video di Youtube rasanya miris. Salah seorang yang katanya wisudawan diwawancara. Ya namanya wartawan emang pinter banget mancingnya lewat pertanyaan-pertanyaan jebakan. Miris banget waktu ditanya yayasan tempat kuliahnya, si wisudawan ini kebingungan dan gagap. Ditanya mata kuliah favorit pun gelagepan dan ngawur jawabnya. Miris.

Kalian yang lagi uring-uringan ngejar dosen semoga tetep semangat. Kalian yang lagi misuh-misuh revisi sana sini semoga tetep pantang menyerah. Kalian tau persis kalian kuliah di mana. Kalian tau persis mata kuliah apa yang susah. Kalian hapal mata kuliah apa yang dapet C. Kalian hapal dosen mana yang ga pernah kasih nilai A. Ga usah lah dengerin omongan orang yang selalu tanya, "kapan wisuda?" Fokus aja selesain skripsi. Biarlah wisuda kalian jawabannya.

Kalian, tetep semangat. Toga udah nunggu untuk dipakai. Kalian, tetep semangat. Wisuda kalian nanti legal. Gelarnya halal. Segerakanlah!

Sunday, July 05, 2015

Iftar

Buka-puasa-di-rumah sounds different from year to year. When I was on high school, it sounded normal. By normal, I meant I did it as a daily routine during Ramadan. Nothing wrong, nothing special with it. Having iftar at home with ibu, bapak, and my sisters was something I was not so thankful for because I thought that it was an ordinariness.

When I was a college student, having iftar at home was something boring. I had a lot of schedule to have iftar with many groups friends. I hardly had iftar at home. I had a great enthusiasm to have iftar in different place each day. And so happy taking picture with my different friends from day to day.

And in this Ramadan, I think that having iftar at home is the best idea to have each day. This my first Ramadan as an employee. I go to work right after fajr pray and come home after maghrib. It is so hard for me to have iftar at home. Once I have it, it becomes something so precious no matter what I have for breakfasting. I become more emotionally sad when I have to have iftar on road after work. Some days ago, I had iftar on train when I was on my way to home. No water, no takjil, standing among lot of people, crowded. Imagine it. It was okay for me to stand along the road on train. It was okay for me to have longer fasting. It was okay for me to be among crowd. But it saddened me when I remembered how I was not so thankful for having iftar at home with my family. The older I get, the more I need to be without boisterousness.

Sunday, June 21, 2015

Bau Kesedihan

Jadi, barang abtrak macam kesedihan itu ada baunya. Baru-baru ini saya menyadari setelah sekian waktu. Entahlah kalian pun menciumnya atau tidak tapi saya akan mulai menjelaskan hal yang tidak akan pernah jelas ini. Sore tadi, saya teringat sesuatu yang menurut saya menyedihkan. Hmm, mungkin tidak seberapa menyedihkan untuk selain para melankolis. Hitungan detik sebelum air mata saya meluncur, saya merasa ada yang mengalir dari kepala ke hidung saya. Saat yang bersamaan, ada yang mendesir deras di benak saya. Ada rasa sesak sedikit linu di pangkal hidung yang tidak mancung ini. Tepatnya di perbatasan tulang keras dengan tulang rawan. Seperti ada yang mengalir lalu tertahan di sana. Seketika, ada bau khas yang menyeruak ketika saya menarik napas. Baunya seperti bau besi. Begitu tajam. Dan begitu tidak asing. Namun kemudian hilang dengan cepat begitu air mata mulai terurai. Itu dia yang saya sebut sebagai bau kesedihan.

Friday, June 19, 2015

Kosong

Senja itu, kamu angkat cangkir kopimu pelan. Sepersekian detik kemudian, lengan kananmu membentuk sudut lancip. Bibir cangkir lalu melekat hangat pada bibirmu yang membuat kopimu kini berpindah wadah. Kamu begitu lelap pada adegan demi adegan rutin seperti itu hingga kosong cangkirmu. Aku adalah teguk terakhir kopi yang kamu punya. Yang kamu lalui begitu saja tanpa pernah menyadari bahwa tiada sisa setelahnya. Teguk terakhir yang begitu pahit. Bukan karena ampas. Hanya saja kamu belum siap menjumpa akhir. Sampai tiba ketika sudut lancip lenganmu terbentuk lagi, kamu hanyak menjumpai kosong.

Grammar?

Grammar. Yes. Most of you are maybe grammar-phobia. That simple word isn't simple. Indeed. I, as a bachelor of art majoring English, had an intimate relation with grammar when I was in college. Unfortunately, so long time after my graduation, I sometimes forget about grammar-thingy. Until now, when someone writes sentence in English containing gramatical errors, I automatically say the right one. In other hand, I start making grammatical errors more often now. And of course, it saddens me. I have to start studying English. I need doing more exercises. I need to keep or even improve my English skill.

At first, I said that maybe most of you are grammar-phobia. Or maybe I was wrong. You are nor grammar-phobia. You just think that grammar isn't important at all. Or maybe, it's just because you simply don't understand about grammar. When I was in college, grammar was like my new religion. When you did grammatical errors, it meant that you just did a sin. I can still remember my beloved lecturer's story about this term. And here it is.

One day in heaven.

Mr. Lawyer: Knock knock!
Angel: Who's there?
Mr. Lawyer: This is me, Mr. Lawyer.
Angel: Sorry, Mr. Lawyer, you're not in my list.

Doctor: Knock knock!
Angel: Who's there?
Doctor: This is me, the doctor.
Angel: Sorry, doctor, you're not in my list.

Mr. Teacher: Knock knock!
Angel: Who's there?
Mr. Teacher: This is I, Mr. Teacher.
Angel: Please come in.

Got it? Making grammatical errors is a sin. You can't go to heaven then. This is an interesting joke I can still remember. Oh how I miss my college. I really miss studying English with my amazing lecturer. Oh how I miss them.

Any grammatical error in this writing is mine to correct. Let me know if any :p

Sunday, May 24, 2015

Let It be Better

I saw you wiping your tears out while walking away from my home. Is it too much if I ask you one more thing? Please do promise me that you won't cry anymore. We're not trying to let something go. We're trying to let it be better. It's hard but it's possible. It needs time.

Yes, this is a very hard time for both of us. We're sharing a common bad feeling. We're now in the same sorrow. It's killing me. It hurts. Really. It really does. But, there's one thing hurting me so much more than it. You know what? Seeing you crying.

Wednesday, May 20, 2015

Semesta

Walau tak beda dengan lautan kata tanya, semesta tak pernah ingkar memberi petunjuk. Pada spasi antara tanda tanda dengan jawaban, selalu kita dibuatnya terkesima. Kadang, air mata bahkan turut serta seiring gaung-gaung tawa kita. Nikmatilah tiap inci spasi itu karena mungkin itulah satu-satunya yang membahagiakan ketika jawabannya meleset dari perkiraan. Semesta, semoga spasiku berujung pada jawaban yang melengkungkan senyuman. Aamiin.

Saturday, May 16, 2015

Jatinangor

Aku tidak banyak menyemai cerita di sana. Tapi 4 tahun ternyata lebih dari cukup untuk menuai rindu yang teramat. Aku suka tiap-tiap perjalanan pagiku dari kosan menuju kampus. Aku suka lalu lalang manusia di jalan setapak depan deretan fotokopian (yang kini sudah tiada) dekat gerbang. Aku suka duduk ketika masih sepi di kantin fakultasku bersama kopi dan gorengan. Aku suka bincang-bincang yang terjadi di sana, baik yang melibatkanku atau tidak. Aku suka berada di kelas dosen-dosen itu. Aku suka suasana sore ketika harus turun dari fakultas dengan berjalan kaki karena angkot gratis sudah tidak ada. Aku suka malam yang dingin dan sepi ketika masih berkutat dengan tugas kuliah. Tapi aku tidak suka suasana minggu pagi yang hening. Aku tidak suka suasana menjelang maghrib di sana apalagi ketika aku masih berada di damri sepulang dari Bandung. Aku tidak suka suasana Cileunyi yang terlihat tidak bersahabat denganku. Tapi apa? Tapi nyatanya aku rindu dengan semua. Dengan yang aku suka. Dengan yang aku tidak suka. Aku rindu Jatinangor dan isinya.</p>

New Stage

Hai. Saya lama melupakan rumah saya ini. Banyak hal yang saya lewati kemarin tapi saya terlampau malas pulang ke sini. Padahal sangat ingin. Saya baru aja masuk dunia baru. Ini katanya baru kehidupan yang sebenarnya. Entah apa maksudnya. Yang saya tau, saya harus dan saya ingin menjalaninnya dengan kemampuan terbaik saya.

Tuhan, terima kasih untuk ke dua puluh lima orang teman baru. Juga, untuk banyak orang-orang hebat yang saya temui.

Tuesday, February 24, 2015

Kopi dalam Cangkir

Katanya dari secangkir kopi manis panas, ada bulir-bulir pahit yang menguap. Biarlah hilang tersapu angin. Bukankah yang manis adalah bagian dari kopi yang paling ingin kau sesap? Tapi entah mengapa, kau begitu menikmati uap-uap panas yang menari di atas kopi. Kau biarkan ia perlahan memenuhi rongga hidungmu. Membuat aku iri. Uap-uap itu merasuk dengan magis ke dalam tubuhmu; satu-satunya tempat yang ingin aku huni. Tapi apa ada hal lain yang bisa aku lakukan selain menjadi ikhlas? Ikhlas karena aku hanyalah tegukan terakhir di cangkir kopimu yang selalu enggan kau santap karena terlalu pekat.

Apalah; Siapalah

Apalah kamu itu.
Seolah ada di utaraku, nyatanya termangu di selatan. Seolah menyeruak dari tumpukan kata, nyatanya hilang tanpa tanda baca. Seolah imaji, nyatanya kroni.

Siapalah kamu itu.
Hanya yang mampu membuat garis lengkung yang meluruskan arahku. Hanya yang mampu melahirkan tawa yang suaranya tiada bisa terdengar. Hanya yang mampu membuat kebetulan-kebetulan yang dibetul-betulkan.

Apalah aku ini.
Mencari-cari duka penuh tanda tanya. Menahan diri agar tetap di permukaan berharap tidak tenggelam. Memapah satu demi satu langkah menuju kamu.

Siapalah aku ini.
Sekadar penghuni bumi yang selalu ingin berada di titik koordinat yang sama denganmu. Sekadar penyeluncur yang kurang mahir menyeimbangkan papan. Sekadar pelontar ajakan perihal kopi yang masih amatir.

Apalah semesta itu. Terlalu suka bercanda. Siapalah kita ini. Terlalu banyak berencana.

Wednesday, January 14, 2015

2014

Sudah lama tidak menulis di sini. Karena mungkin saya lebih sering mengakses media sosial lain untuk berbagi sesuatu. Sedikit-sedikit dibagi di Instagram. Sedikit-sedikit diposkan di Twitter. Sedikit-sedikit menulis di Tumblr. Hingga lupa punya rumah di sini. Hingga lupa terakhir bercerita adalah di bulan September. Sisa tiga bulan di 2014 sama sekali tidak dipakai untuk sekedar membual di sini. Tapi, kalau diingat pun, sepanjang 2014, saya jarang berbagi cerita tentang apa yang sedang saya jalanin saat itu. Sibuk? Tidak juga. Mungkin terlalu fokus pada hal-hal yang memang membutuhkan fokus saya lebih besar. Skripsi. Iya. Saya jadi harus lebih sering buka Ms. Word di laptop saya. Dan ketika membuka browser pun, bukan alamat blog saya ini yang saya tuju melainkan laman-laman lain yang terlihat lebih akademis. Saya harus berjibaku dengan jurnal-jurnal, e-book, dan segala macam yang berhubungan dengan itu. Saya juga jadi harus banyak bolak-balik perpus skripsi. Padahal sangat ingin mengabadikan segala yang saya hadapi di 2014 ini ke dalam kata-kata.

Dimulai dari awal Januari. Akhir Desember 2013 sampai awal Januari 2014 saya lari sebentar dari hiruk-pikuk kota saya. Saya pulang ke Jogja. Tahun baruan sih katanya. Sebenarnya saya bukan orang yang suka merayakan datangnya sebuah tahun yang baru. Saya lebih senang tidur di rumah. Tapi ini Jogja. Saya jadi harus terlihat seperti ikut merayakan tahun baruan karena datang ke Jogja ketika akhir tahun. Tak apa. Yang penting Jogja. Bukan itu yang sebenarnya saya inginkan. Bukan hanya pulang sepekan dua pekan ke sana. Saya ingin lebih lama dari itu. Saya ingin bukan hanya tahun baru saja. Saya ingin sepanjang tahun. Suatu saat nanti. Semoga. Ya, Tuhan?

Tanggal 11 Januari 2014, satu dari dua kakak kembar saya menikah. Yang bebrarti, rumah saya kehilangan satu penghuninya. Sepi itu terasa lagi. Tapi pilunya tidak sama. Lebih ringan.

Bulan-bulan selanjutnya adalah bulan-bulan perjuangan untuk saya di kehidupan kuliah. Saya masih mengikuti tiga kelas. Memang tiga mata kuliah ini normalnya diambil di semester 8. Di saat mahasiswa jurusan lain hanya tinggal mengerjakan skripsi, saya masih harus kuliah dengan tiga mata kuliah; Seminar on Linguistic, Psycholinguistics, dan Sociolinguistics. Dan saya jatuh cinta sama Sociolinguistics yang diampu Pak Eko.

Di bulan Maret, saya dan (hampir) seluruh teman seangkatan harus mengikuti Seminar Usulan Judul Skripsi. Lancar? Hmm lumayan. Saya tidak harus mengulang dan mengganti usualn judul saya. Alhamdulillah. Kehidupan kuliah saya kembali seperti biasa karena belum ada pengumuman pembagian dosen pembimbing skripsi. Akhir April akhirnya saya dan teman-teman mendapat dosen pembimbing. Dosen pembimbing saya ALHAMDULILLAH bukan dosen yang susah dicari dan ditemui. Saya dibimbing oleh dua dosen perempuan; Bu Eva dan Bu Elvi. Saya sudah pernah diajar beliau-beliau ini sebelumnya. Masing-masing dua semester. Jadi, lumayan sudah mengenal mereka. Saat pengerjaan skripsi pasti ada saja halangan dan kesulitannya. Bila melihat perjuangan teman-teman saya yang dibimbing oleh dosen lain, wajar rasanya jika saya sebelumnya mengetik kata alhamdulillah dengan huruf kapital.

Bu Eva mudah ditemui. Beliau punya jadwal tetap setiap minggunya khusus untuk bimbingan. Ya walaupun setiap bimbingan dimulai jam setengah delapan pagi di kampus Dipati Ukur yang artinya saya harus susah menunggu Damri di pinggir jalan jam 6 pagi. Sebelumnya, kita sering harus menyusul beliau ke Hotel Aston Pasteur karena beliau ada acara di situ selama beberapa minggu. Saya mendapat acc dari Bu Eva tidak terlalu lama. Hanya sekitar tiga smapai empat kali bimbingan. Justru saya diberi kesempatan untuk belajar lebih banyak dengan Bu Elvi. Beberapa kali saya harus bolak-balik ke rumah beliau untuk bimbingan. Membongkar beberapa bagian dari analisis data saya. Sempat down tapi lalu semangat lagi. Pernah sekali waktu pulang dari rumah beliau, saya menangis. Heheh iya saya cengeng. Tapi lagi-lagi saya bersyukur mendapat dosen pembimbing seperti mereka. Bu Elvi meminjamkan saya banyak sekali buku untuk bahan referensi saya. Suatu waktu saya disuruh belaiu untuk membaca beberapa buku. Namun, saya hanya mendapatkan satu dari sekian buku tersebut. Lalu saya mengutarakan kepada beliau bahwa saya hendak meminjam buku beliau. Dan tanggapannya sangat positif. Saya diminta datang ke rumahnya dan memfotokopi bukunya. Beliau bilang tidak boleh dibawa karena sedang ia gunakan juga untuk menyusun penelitiannya. Ketika datang ke rumahnya, yang menemui saya hanya si mbaknya saja. Saya tidak bertemu beliau. Si Mbak menyampaikan pesan Bu Elvi kepada saya sembari menyerahkan buku-bukunya. Dan saya sangat terharu ketika menerima buku-buku tersebut. Di setiap buku ditempelin post-in oleh Bu Elvi yang berisi halaman-halaman berapa saja yang bisa menjadi referensi untuk penelitian saya. Sekali lagi, saya terharu.

Bimbingan demi bimbingan akhirnya terlewati dengan manis. Tibalah saya mengurus keperluan sidang akhir saya. Ketika di kondisi seperti ini, percayalah bahwa "semuanya teman semuanya musuh". Jika kamu pernah melaui masa-masa skripsi, mungkin kamu akan tahu maksudnya. Pengumuman dosen penguji adalah hal yang paling mendebarkan pada fase itu. ALHAMDULILLAH saya mendapat penguji yang ALHAMDULILLAH tidak menyusahkan. Saya diuji oleh Pak Eko dan Pak Sutiono. Saya sangat bersyukur diuji oleh beliau-beliau ini yang alhamdulillah cukup menganl saya. Pak Eko sudah tau betul tentang skripsi saya walau beliau bukan dosen pembimbing saya. Di mata kuliah Research Methods yang diampu beliau, saya mengajukan judul presentasi yang sama dengan judul skripsi saya. Dan ketika itu tanggapan beliau terhadap judul saya sangan positif. Begitu pun di mata kuliah Seminar on Linguistics. Kalau Pak Sutiono, beliau tidak aneh-aneh ketika menguji. Seperti ngobrol saja. Santai. Alhamdulillah lulus dengan nilai A. Dan cumlaude juga. Alhamdulillah.

Setelah sidang akhir, saya sibuk mengurus pemberkasan skripsi yang super njlimet karena harus melalui beberapa prosedur yang lumayan panjang sebagai syarat mengukiti wisuda. Dan saya pun diwisuda sebulan setelah saya sidang akhir. Apa yang menarik dari wisuda saya? Jadi, gelombang wisuda saya adalah gelombang pertama yang mengenakan toga baru. Bukan lagi hitam kuning warnanya. Toga UNPAD sekarang lebih bewarna karena tiap jenjang akan memiliki warna yang berbeda. Untuk strata 1 warnanya erah maroon. Toganya bagus. Bahannya tebal. Tapi sayang hanya dipinjamkan. Jadi, harus dikembalikan. Atau bisa juga dibeli seharga 750K. MAHAL. Alhamdulillah banyak teman-teman yang datang dari jauh. Tapi sayang, hp saya ketika itu karena lowbat, banyak teman-teman yang mencari saya dan tidak ketemu padahal sudah beli bunga katanya. Heheh gapapa saya senang sekali kok.

p.s. Sisa 2014 sampai saat ini masih diisi dengan kegiatan cari kerja.