Thursday, September 11, 2014

Butuh Berada di Rumah dan 'Rumah'

Dulu waktu SD, ingat benar pernah belajar tentang macam-macam kebutuhan manusia, kebutuhan kita. Iya, ada kebutuhan primer, sekunder, dan tersier namanya. Sesuai namanya saja, kebutuhan primer sudah tentu kebutuhan yang paling utama, misalnya sandang (pakaian), pangan (konsumsi), papan (tempat tinggal), dan pekerjaan. Kalau kebutuhan sekunder itu kebutuhan yang sifatnya tidak semendesak kebutuhan primer tetapi tetap harus dipenuhi atas nama keseimbangan hidup, misalnya pendidikan , pariwisata, rekreasi, dan hiburan. Yang terakhir itu kebutuhan tersier. Singkatnya kebutuhan ini kebutuhan yang kalau bisa dipenuhi ya syukur, kalau tidak yang tidak begitu berpengaruh, misalnya mobil, perhiasan, telepon genggam, dll. Waktu SD, aku anak murid yang manis. Meng-iya-kan saja apa kata guru dan buku pelajaran. Namun, waktu mengajarkan hal lain. Semuanya tidak 'saklek' seperti ini. Mengapa? Pertama, kebutuhan akan mobil bagi seorang tukang becak mungkin hanyalah kebutuhan tersier belaka (atau malah sama sekali bukan merupakan sebuah kebutuhan), tetapi sebuah mobil bagi seorang sopir angkot merupakan kebutuhan primer. Bukan begitu? Kedua, seiring waktu terus melaju, kebutuhan akan telepon genggam bukan lagi kebutuhan tersier aku rasa. Semua butuh, kan? Mungkin sudah naik satu level ke kebutuhan sekunder atau bahkan primer.

Kebutuhan primer. Dari dulu, informasi yang selalu aku dapat tentang kebutuhan primer hanyalah kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. Sekali lagi, waktu mengajarkan hal lain. Menurutku dan bagiku ada yang harusnya masuk juga ke dalam kategori ini; kebutuhan untuk berada di rumah dan kebutuhan untuk berada di 'rumah'. Apa bedanya? Begini.

Kebutuhan untuk berada di rumah. Rumah yang aku maksud di sini sama dengan pengertian 'papan' pada contoh jadul kebutuhan primer di atas. Waktu mengajarkanku bahwa kebutuhan akan papan sama pentingnya dengan kebutuhan untuk berada di dalamnya. Rumah. Iya, rumah. Bagaimanapun kondisinya, tempat paling nyaman untuk menempatkan diri adalah rumah, yang seluk-beluk isinya kita paham betul. Kamu pasti tau rasanya berada di sebuh tempat baru yang asing. Apa yang pertama-pertama kamu perbuat? Melihat ke segala penjuru. Mencoba mempelajari tiap-tiap sudutnya. Lalu, ada rasa getir di dalam hati. Tidak nyaman. Perlu banyak adaptasi. Tetapi rumah? Rumah yang sedari kecil kita di dalamnya. Mendewasa bersama. Berubah beriringan. Begitu nyaman dan begitu akrab. Begitu akrab dengan segala isinya. Begitu akrab dengan letak telur yang ibu simpan di situ, dengan letak tempat sikat gigi di ujung sana, dengan letak colokan yang ada di sana, di sini, di samping lemari, dan di mana-mana, dengan letak gunting yang digantung bapak di tembok sana, dengan letak rak sepatu yang kebanyakan isinya adalah sepatu kakak, dengan letak kardus berisi buku-buku aku jaman dulu, dan dengan letak jemuran di atas itu. Aku yakin, kita butuh akan hal ini. Kita butuh untuk ada di dalam rumah. Untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa kita lakukan di tempat mewah sekalipun, untuk mendengar suara ibu berteriak membangunkan di waktu subuh, untuk adu argumen bersama kakak, untuk membuat kopi sendiri yang kemudian lupa diminum, untuk meminta uang kepada bapak sambil memijit pundaknya (bagian dari usaha), untuk bersama-sama mencari remote tv yang hilang ke mana, untuk beraktivitas tanpa bra, untuk bikin indomie selera sendiri yang bahan-bahannya sudah disimpan ibu di kulkas, dan untuk apapun yang kita suka. Itu menyamankan. Berada di rumah bisa membuat semuanya tampak lebih mudah. Dan kita selalu pergi untuk pulang ke rumah. Waktu mengajarkanku hal ini.

Kebutuhan untuk berada di 'rumah'. Rumah yang aku maksud di sini bukan lagi berupa bangunan fisik yang lengkap dengan pintu dan jendela. Rumah di sini adalah apa-apa yang membuat hati tentram, senyum di bibir tersungging, binar di mata semakin nyata, telinga makin terbuka lebar tanda siap menampung apa-apa yang terlontar, kaki makin lincah bergerak, dan sinyal-sinyal positif di otak makin kencang. Berada di 'rumah' bisa saja berarti berada di tengah-tengah orang-orang tertentu, misalnya di tengah-tengah teman SMA, di samping kekasih, di sudut yang tidak terlihat oleh orang yang sedang kita tatap dalam-dalam, dan atau di tengah-tengah teman organisasi ketika rapat hingga larut. Berada di 'rumah' bisa saja berarti berada di tempat tertentu, misalnya di depan tv sambil menonton serial favorit, di kamar yang menurut kita paling nyaman dunia akhirat walaupun baju-baju berserakan di mana-mana, di kamar ibu, di bioskop, di bis dalam perjalanan ke rumah, di warung kopi, di frekuensi radio tertentu dengan lagu dan penyiar favorit, di toko buku, di rumah ibadah atau di sudut kampus. Dan kukira berada di 'rumah' bagi sebagian orang berarti berada dalam pelukan seseorang. Entah siapapun itu. Pelukan yang hangat. Menenangkan. Tapi betapa beruntungnya mereka yang rumahnya adalah juga 'rumah' baginya.

Dan lagi. Seperti apa yang waktu ajarkan padaku; semuanya bersifat subjektif dan berbeda-beda bagi setiap kamu. Ini hanyalah menurut aku. Terserah kalau kamu bagaimana. Yang pasti, aku selalu yakin bahwa Tuhan tidak hanya memberikan apa yang kita butuh. Ia juga memberikan apa yang kita ingin. Sebab, kita butuh apa yang kita inginkan dan ingin apa yang kita butuhkan.

Racun

Beberapa hari lalu, di sebuah tempat makan, ada pemandangan aneh di meja sebelah. Di meja itu ada diisi 3 orang dewasa, 1 anak-anak, dan seorang calon bayi -di dalam kandungan. Sebagai pemerhati lingkungan sekitar yang cukup "ahli", aku sudah memperhatikan mereka sejak kedatangannya. Pasangan ayah muda dan ibu muda, bersama seorang anak perempuan -usia sekitar 5 tahun, dan seorang ibu-ibu berjilbab -entah itu ibu si ayah atau si ibu muda tadi. Karena memungkinan besar ibu berjilbab ini, utinya si anak kecil itu, kita sebut si uti. Si uti berpenampilan sewajarnya ibu-ibu. Mengenakan celana dan baju yang agak panjang, dilengkapi jilbab rapi. Si ayah menggendong anak perempuannya sewaktu datang, dan jalan di depan si ibu muda dan si uti menuju sebuah meja di sudut ruangan. Si ibu muda ini mengenakan dress selutut dan terlihat sedang mengandung. Belum begitu besar. Mungkin 4 bulanan. Ini hanya kira-kira. Aku juga sebenarnya tidak ahli dalam menerka-nerka usia kandungan hanya melihat dari besarnya perut si ibu. 

Setelah itu, aku sudah tidak lagi memperhatikan mereka. Sibuk dengan ponselku. Aku juga tidak menyadari mereka berpindah meja. Aku baru sadar ketika aku berpindah meja ke dekat colokan. Ternyata di sebelah kiri mejaku adalah meja keluarga tadi. Di sampingku, duduk si ibu muda dengan anaknya, sedangkan di seberangnya, duduk si ayah dan si uti. Awalnya biasa saja. Mereka tampak asik bertukar kata sambil menikmati makan siangnya. Sampai pada akhirnya aku terusik dengan asap rokok yang begitu mengganggu. Sebenarnya aku tidak perlu merasa terganggu karena ya memang aku memilih meja di smoking area. Tapi hal itu nyatanya tidak menyurutkan niatku untuk mencari sumber asap tersebut. Dan... ternyata asap-asap yang menggepul itu berasal dari meja sebelah. Dari keluarga kecil tadi. Si ayah asik menghirup berkali-kali batang rokoknya. Sedihnya, ternyata si uti pun sama. Mereka berdua merokok dengan tenang, menghembuskan asap-asap yang sangat mengganggu. Di atas tadi aku bilang, ada pemandangan aneh. Ya aneh bukan, ketika si ayah dan si uti berlomba-lomba merokok di depan istri/anak/menantu, anak perempuan kecil/cucu, dan calon anak/cucu di kandungan istri/menantunya. Racun!

Apa yang terlintas di benakku saat itu? Aku langsung berdoa memohon kepada Tuhan agar dianugerahi seorang suami serta mertua yang menyayangi aku dan anak-anakku dan tidak sampai hati untuk menghembus-hembuskan racun kepada kami. Aamiin.

Saturday, August 30, 2014

Revolusi

Jika pagi adalah saat rindu berevaporasi, maka malam adalah saat rindu berevolusi mengelilingi pikiranku bagai planet mengelilingi matahari. Semoga Tuhan menjagaku tetap waras ketika rindu sampai pada titik perihelion. Namun, pada akhirnya aku sadar bahwa temu hanya membawa rindu mencapai titik aphelionnya. Rindu tak usai karena nyatanya rindu tak akan pernah lepas dari orbitnya

Bertemu Rindu

Orang bilang obat rindu adalah temu dan apa itu berarti rindu adalah semacam penyakit yang menjangkiti anak Adam? Jika iya, maka benar bahwa aku terdiagnosa memasuki stadium lanjut. Kronis dan sedikit miris karena aku hanya bisa meringis. Ah untung masih bisa menahan tangis.

Sunday, August 24, 2014

Hehehe

Seorang teman: Eh, lo jurusan apa sih?
Seorang saya: Sastra Inggris
Seorang teman: Lah, ngapain lo jauh-jauh ke Bandung belajar bahasa Inggris. Di LIA juga bisa. (dengan tersenyum kecut)
Seorang saya: Hehehe

*minutes later*

Seorang teman: Eh iya, ajarin gue TOEFL dong, gue mau ambil tes IELTS nih.
Seorang saya: TOEFL apa IELTS?
Seorang teman: Loh emang beda ya?
Seorang saya: Hehehehehe (dengan tersenyum manis)

That was actually the answer why I go so far to learn English, dude.

Saturday, August 23, 2014

Wedding

Baru aja tadi liat postingan kawan di Path yang habis dari wedding expo. Aku ulangi ya, wedding expo. 22 tahun dan wedding expo. Bukan yang aneh. Iya, 22 tahun dan sudah kepikiran tentang wedding itu normal, kan? Bagi perempuan. Aku suka banget liat-liat foto prewedding di Instagram. Aku follow beberapa akun jasa foto prewedding & wedding dan iya, ngga ada yang ngga bagus. Semuanya pasti selalu bisa bikin senyum simpul. Entah konsepnya, entah teknik ambil gambarnya, entah keduanya.

"Perempuan, usia 22, bicara soal wedding" adalah satu tingkat di atas "perempuan, usia 22, bicara soal marriage”. Mengapa? Karena wedding sifatnya lebih nyata, marriage sifatnya lebih abstrak karena bicara konsep di dalam kepala dan keteguhan di dalam hati. Perempuan, usia 22. Kata-kata begitu sudah pantas terujar.

Konsep wedding dan perempuan. Perempuan pasti punya konsep wedding impiannya sendiri-sendiri ya. Mulai dari baju, konsep acara, adat, venue, warna, makanan, souvenir, dll. Kalau dibahas di sini rasanya jempol aku bisa lecet. Jadi, ya bahas konsep wedding impian aku aja.

Ketika banyak perempuan yang punya konsep wedding yang begitu luar biasa, yang telintas di kepalaku, bukan tentang bagaimana indahnya, tetapi bagaimana ribetnya. Entah sejak kapan, aku ingin ketika menikah nanti (entah di usia berapa dan dengan siapa) semuanya serba sederhana dan khidmat. Aku mau tanpa ada acara resepsi, tanpa ada acara-acara adat yang begitu banyak dan melelahkan sebelumnya, termasuk acara siraman.

Aku mau menikah dalam sebuah venue yang tidak usah terlalu besar. Yang sebagian sisinya dikelilingi jendela dan pintu kaca sehingga hijau rerumputan di luar bisa terlihat. Hanya ada beberapa bangku tamu berpita putih. Mungkin sekitar 50 saja. Dan di bagian depan, ada jejeran bangku dan sebuah meja yang dipersiapkan untuk ijab kabul di pukul 8 pagi, di hari Sabtu. Di bagian sisi ada meja-meja yang di atasnya berjejer hidangan sederhana untuk yang datang. Ada cangkir-cangkir teh hangat dan kopi-kopi yang aromanya sudah bisa tercium dari balik ruangan aku berhias. Ada balon-balon tempat foto-foto penuh cerita menggantung. Dan bunga-bunga secukupnya.

Tamu-tamu yang datang tidak perlu banyak. 50 itu kalau boleh hanya di isi oleh keluarga inti kedua belah pihak dan rekan-rekan dekat. Rekan-rekan yang datang karena ingin turut berbahagia mengantar rekannya menuju satu tahap kehidupan yang baru. Rekan-rekan yang datang bukan untuk “kondangan”. Rekan-rekan yang dengan haru ikut menjadi bagian dari ritual bernama ‘nikah’ ini. Aku ngga mau di acara pernikahanku, banyak tamu yang aku sendiri tidak tau siapa. Yang datang untuk kondangan dan memenuhi undangan dari orang tuaku saja, misalnya. Aku ingin mereka yang datang adalah mereka yang benar-benar datang untuk aku dan si mempelai pria. Perempuan, usia 22, sudah boleh bicara soal mempelai pria.

Tepat jam 8, dalam suasana yang begitu sakral, dan maaf, tanpa adanya suara anak-anak, ijab kabul dimulai. Seiring tumbangnya haru biru, suka cita mulai terlahir. Dilanjutkan acara khidmat meminta restu dengan sungkem kepada dua pasang orang tua. Lalu, makan bersama. Begitu dekat dan intim. Diiringin musik yang tenang dan hangat. Menjelang siang acara sudah bisa berakhir. Sederhana.
Aku mau yang begitu saja. Tidak perlu banyak biaya. Yang sederhana saja. Yang penting dokumentasi juara. Hahahah.

Ini hanya keinginan. Berusaha mewujudkan, bila tidak terwujud ya tidak papa.
Perempuan, usia 22, sudah boleh punya mimpi tentang pernikahnnya.

Merangkum Senja

Ada jejak jejak langkahmu tertuang dalam secangkir kopi di senja ini. Teduh, aku duduk di bangku dekat jendela. Berharap jingganya langit mengimbangi pekatnya kopi. Aku pandangi lekat lekat matahari yang dalam diam ditenggelamkan semesta. Tak lagi aku dapati matamu untuk aku selami. Kamu kutemukan mundur perlahan dan menarik diri untuk bertahan. Dalam senja, aku biarkan cangkir ini kosong hingga tiada yang tersisa termasuk jejak jejakmu.

Friday, July 18, 2014

Being Old

Days ago while standing in a roadside, there was a public transportation coming aside. From the place I stood, I saw a very old man sitting next to the driver. He slowly handed money to the driver then opened the car door powerlessly. It took a long time for the old man whose hair was all white to get down from the car. He was just too old. In every move he made, he trembled. Unlike other people needing just a second to get down, he needed more than 5 minutes. Even his time to take his foot to the ground was still longer than the time I need to post 4-5 tweets. It was one of teary scenes I had ever seen live. When he had successfully touched the ground, I even saw a sadder scene then. He found difficulty in turning his body after closed the car door. It is just a piece of cake for us to turn our body, but not for him. Again, he trembled while moving his feet to the direction he needed to take. Literally, it took a long time for him just to get down from a car and turn his body. Then, he made some steps ahead, absolutely in a very slow way. After some steps he took, he disappeared. He was out of my range of view. What came to my mind after it was how could. How could he travel alone using a public transportation? How could his children let him do it? Moreover, how could I just let it happen without doing anything; without helping? How could I be so heartless? Honestly, I was so saddened.

I hope that in the future I have no time to let my parents walk or travel alone; I have no time to say no when they ask me to accompany them; I have no time to let them wait me to answer their calls in a long time; I have no time to let them have a dinner alone; I have no time to make them feel alone.

Saturday, June 21, 2014

Keheningan

Apakah iya keheningan memberi jarak di antara kita? Atau justru ia yang menjadi penghubung? Karena nyatanya jembatan kayu yang hampir putuslah yang menghubungkan, bukan memisahkan. Begini. Keheningan ini bagai sungai di bawah jembatan. Keheningan ini terus mengalir bagai aliran sungai yang ujungnya entah di mana. Keheningan ini entah bermuara pada sapa yang mana. Keheningan ini seolah memberi jarak agar rindu bertempat. Rindu ini bagai jembatan kayu, membentang di antara kita seolah menjadi penghubung. Namun sayang, tidak jua kita terhubung. Tak satupun dari kita berdaya untuk melintasi jembatan itu. Tak satupun dari kita ikhlas melipat rindu. Hingga tiba saatnya rindu benar-benar berlaku bagai jembatan usang yang rapuh. Putus tebawa arus. Yang tersisa pada akhirnya hanyalah keheningan. Keheningan yang konstan.

Friday, May 30, 2014

Candu

Merindumu selalu menjadi candu. Seperti tak jemu-jemu berharap untuk sebuah temu. Tiap malam kujamu gema kekariban hari lalu. Kini tak lagi aku jumpa jelmaan dirimu dalam aksara. Lenyap entah disapu apa. Kalau boleh aku mengigau, ingin aku datang menyapamu dengan medayu-dayu. Aku hantarkan sebungkus asa yang telah layu. Sekadar memastikan kamu tak lagi menggebu. Tak apa tak berbalas. Aku akan berlalu seperti debu tersapu nafasmu. 

Merindumu selalu jadi candu. Hanya kamu yang boleh meramu jamu penawarnya untukku. Itupun jika kau mau.

Tuesday, May 27, 2014

Monologue

I miss those moments when there was no day we didn't talk about many unimportant things to each other. You've got many new friends now who are closer to you than I am, friends you meet almost everyday. You look happier with you new friends. I should be happy for that but I'm sorry for I'm sad knowing it's not me making you laugh anymore. Almost no story shared anymore. I don't know what you're doing and what you're going through. You're such a busiest girl in the town.No story shared anymore. And maybe it's true that I've been replaced already. You post many tweets everyday. I read it. I see it. I know you're there tweeting but I can't feel you. We don't even say hi. We don't get any problem. We're just not as close as yesterday and it makes me sick, of course. Ah I'm just being too melancholic. But I think everyone will be over melancholic when they talk about best friends and loss. The loss of friend actually.

Her: ah~ no one can replace you. YOU WILL ALWAYS BE ON THE TOP TOP TOP LIST
Me: :)

Saturday, April 19, 2014

HAPPY 22ND BIRHTDAY, ARI RADITYO

Hi, there. Hi, the closest boy friend of mine.

We've been friends since we were in junior high school. We were classmates at that time. As classmates, we just had a very ordinary friendship. Not too close, I mean. However, we were getting closer when were in 3rd grade for we studied at the same course. We went to the course together after school with our other friends, Debby, Della, Ike, and... Ninik. We had lunch together as well. And our favorite place to eat was Amigos near to Unis. One thing that's impossible to forget is that you always ordered an extra spicy ketoprak with more than 10 chilies. You said that it could make your fat burn because you would get too much sweat after eating that extra hot ketoprak. Funny of you.

When we were in high school, we always kept in touch. We went to movie together, hangout together, and still had a good communication. When we were in 3rd grade, we studied in the same course again, only you and I without Della, Ike, Debby, or Ninik. We were so close that the receptionist of our course thought that we were a couple. Funny of us.

In the end of my 3rd grade period, I took a course to be able to continue my study to STAN. I took it with my other friends. We were taught by 2 tutors. Both of them were the students of STAN. Long story short, one of my tutor was actually your elder brother. Funny of the universe.

Four years ago, I successfully passed the test to be able to study at UNPAD and you got a ticket to study Economics at UNSOED. A hundred-mile distance can't beat us. We still have a good communication until now. We still hangout together with Della, Debby, and Ike too and you become the closest boy friend of mine. Many people think that we are a couple. I'm too tired to tell them that we're friends and now, I'll say yes as a response to their thoughts. Funny of them.

Last year, unfortunately Debby, Ike, and I forgot your birthday. No one remembered it but Della. I always feel guilty for my bad. I promise to myself that I won't do it again and yes I prove my promise. Today is your birthday. I actually cannot come to where you are now and directly say 'HAPPY BIRTHDAY' to you but I hope this not-so-good words can be such substitution. Happy birthday, ARI RADITYO. My best prayers go to you. Have a best of lucks.

Wednesday, April 09, 2014

A Dream Catcher


Sometimes, you need a dream catcher to catch your nightmares but you don't need any to catch your dreams because you're the catcher for your own dreams. Allah guides every step you take. Aamiin.

I Participated

 

Ceritanya mau kaya orang-orang yang pamer kelingking kena tinta abis nyoblos eh tapi ini malah tintanya meleber ke mana-mana yang tiada indah. Ngeliat foto orang-orang kok pada rapi-rapi amat cuma di ujung jari. Udah pada latihan dulu apa gimana? Aduh mau mainstream aja ga bakat :)

Pileg, 9 April 2014.

Saturday, April 05, 2014

Senja

Bukankan itu indah, ketika senja nanti, bersama kita duduk-duduk di halaman rumah milik salah satu dari kita? Tidak lagi ada gelas-gelas kopi di atas meja bundar, apalagi semangkuk es krim. Bukankah itu indah, ketika hanya ada cangkir-cangkir teh hangat di hadapan? Rambutmu boleh saja memutih seiring kulitku yang kian mengendur, tapi kelakar kiranya tak akan padam.

Dalam sore yang semakin menjingga, kita memaksa daya ingat kita untuk bekerja lebih keras, untuk mengingat-ingat hal-hal yang tertinggal di hari kemarin, dari yang mengharukan sampai yang memilukan. Ah tapi itu semua akhirnya hanya akan menyisakan simpul manis di ujung bibir kita. Kita hanyut dalam abu-abu. Sekadar bernostalgia untuk kemudian semakin giat bersyukur kepada Tuhan yang telah menggenapkan kebahagiaan.

Bukankah itu indah, ketika kita senada dalam balutan jaket rajut yang melindungi tubuh renta kita dari terpaan angin yang mahadingin? Entahlah, mungkin juga tidak begitu. Mungkin saja kau masih senang mengenakan rok-rok pendek, celana di atas lutut, polo shirt, flanel kotak-kotak, celana jeans sobek, dress-dress cantik, hijab terlilit-lilit, cardigan, atau kaos-kaos warna-warni. Aku sebenarnya tidak begitu peduli apa yang kau kenakan tetapi sebetulnya itu bisa sangat membantu ingatanku untuk mengenalimu. Bukan karena aku sombong tapi bukannya memang begitu, menjadi tua identik dengan menjadi pikun?

Ah indah rasanya berkumpul lagi denganmu di kala senja. Ketika wajahku bertemu wajahmu nanti, akan kubaca lagi semua kisah kita yang tersimpan rapi dalam lekuk-lekuk kulit wajahmu. Hingga tiba saatnya di mana satu per satu dari kita harus kembali pulang ke rumah ditemani gelapnya langit malam yang berbintang.

Friday, April 04, 2014

Memapar

Aku tengok ke dalam sebentar. Ke kanan dan ke kiri aku gelengkan kepala dengan semangat terbakar. Namun, hanya ada nanar yang memar. Dalam pendar yang elok, aku berbinar. Bersyukur aku tak jumpai sosokmu bersandar di bawah sinar. Sudah lenyap sampai ke akar. Semoga kali ini aku benar. Perih akan pudar dalam kelakar agar tidak lagi aku terkapar.

God be With You, Umam

"April is the cruellest month, breeding
Lilacs out of the dead land, mixing
Memory and desire, stirring
Dull roots with spring rain."

                                       T.S. Elliot


Dear, alm. Chaerul Umam (Eglish Department 2011, Unpad)

On March 28, I wrote something about you here. Today, April 4, I'm gonna do it again.

I got shocked this morning. I received some messages telling me about you. They told me that you've come back "home". After sleeping for a long time, you're now sleeping forever. Are you that sleepy, Umam?

You haven't read all those tweets mentioning you. Let me tell you about this. They all wished that you wake up as soon as possible (they miss you so), play football together again, come back to campus, share laugh like yesterday, and many more but in fact, you were too tired and sleepy for those things. That was okay, boy.

Umam, was God missing you so bad that He called you as fast as this? I guess, yes. You're safe now. You're with your God. You're healthier than ever. Now, I know why you slept that long. God saved you for this Friday (April 4, 2014). He wanted you to come back home on Friday; a great day. There's no better day to say goodbye than Friday.

Our deep condolences go to you. May your family be in strength. Rest in peace, Chaerul Umam.







Sunday, March 30, 2014

FJ Cafe, Bandung

Beberapa minggu lalu main ke cafe baru, FJ Cafe yang union-jack bangeeeet sama Molly & Tiara. Tempatnya enak dan bikin betah lama-lama di sana apalagi pas lagi sepi kaya kemarin :))


Lantainya Union Jack! WOW. Mau punya rumah kaya gini lantainya nanti.




Dan ini nih yang bikin paling ngga mau pulang. Sofanya!!! Empuk dan keren banget. Beneran mau dibawa ke kosan aja rasanya nih sofa.



 

Seterusnya Begitu

lalu yang berlalu hilang bersama hujan
datang yang mendatang bersama angin
yang lalu yang tidak pernah dilupa
yang datang yang tidak pernah dikira
begitu indah dengan warna sejuta warna
begitu peluh dengan keluh sejuta luluh
kemarin menari dan bernyanyi

dan seterusnya begitu

An Amateurish Stalker


I'm an amateurish stalker who unintentionally tapped favorite button several times when stalking. I was not stalking, btw. I was just visiting some twitter pages of certain people just to menjalin tali silahturahmi. *malu abis*

Saturday, March 29, 2014

Stop Explaining



When you have a very-close boy friend but everyone thinks he's your boyfriend, what will you do? Just don't care or try to explain? At first, I explained but got tired already. Now, I just laugh and say "yes", which makes them think what they think is true.

Friday, March 28, 2014

Wake Up, Umam.

Dear, Chaerul Umam (English Department 2011, Unpad)

We don't know each other but now, I know you. Actually, I ever saw you for several times in our campus but I didn't know who you are. I didn't know that you're my junior in English Department, Unpad. I just knew you lately since everyone shouted your name in twitter, sent you prayers, and wished the best for your health. At first, I didn't really notice what's going on with you until I got such a sad news about you from my friends. 

Umam, we don't know each other but I'm really saddened. I told my mom about what's going on with you and it seemed like my voice sounded so heavy and many words were too hard to come out of my mouth when I was going to explain about your condition. I felt like there was a big stone in my throat. I could feel that there was vibration when I said something about you. 

Umam, get well soon. My prayers go to you. Wake up, buddy. 






I'm saddened.

Mirror of Me

Your friends are reflection of you. Someone can judge you by your friends. They're your mirror.


Mollyna Ezyando

Giustia Puspa Geoda

Annisa Cahaya Ratih


Tiara Aninditha


Ika Juniastuti

Astri Kusuma Ning Dyah

Ganeshaloudya Sutrisna Putri

Febriana Sekar Wijayanti

Debby Ulfah

Dela Pratiwi Sany

Ari Radityo

Ineke Dwiyanti

More photos will be uploading soon.

Gratisan is Good

Few days ago, I attended a workshop about career in my campus provided by Wardah and I got so lovely journal, product of Wardah, voucher, and lunch. I wore D'Sparted t-shirt, my proud t-shirt.




Some People Want

Some people want to be reborn as someone else.
Some people want to be reborn in another family.
Am I the only one wanting to be reborn in another city?

Instagram

Just went to some Instagram pages of my acquaintances. I read their photos as if each photo were a page full of sentences telling me a story. I slowly went from one photo to another just like I went from a page to another page of their life-journey book. I read them carefully. For me, a row of photos there was such a bucket of stories they had been through based on my own interpretation. Every little thing captured besides the main object in the photos gave me something to elaborate their stories just like extrinsic aspects of a novel. I went from an event to another event of their life. I felt like I was an amateurish explorer.

It was such an entertaining thing to do.

Brace Me Up

When we come to be a part of minority, where we come from becomes something crucial, which leads us to have a more intimate relationship with people coming from the same place.

Something we belong to braces us up.

Going Home

It was a long trip. It was a terrible traffic jam.

Whenever you’re going home, whenever you miss your mom so bad, the road unreasonably becomes so much longer and the traffic unexpectedly becomes worse and worse.

And I was indescribably happy seeing my mom after a long time, being home.

March 23, 2014.

Wednesday, March 12, 2014

Tutur

Cerita-cerita di antara kita menjembatani hati masing-masing. Kata-kata yang terlontar bukan hanya untuk didengar. Aku selalu berterimaksih kepada Tuhanku untuk cerita ribuan kata dari mereka yang memberi kami nyawa untuk berteman sejak masa putih abu-abu. Berceritalah terus agar hati ini tidak hilang arah, agar kasih ini tetap merekah.

I just love listening their stories. I just love them.


Ijun, Niar, Edha, taken by Nuning
Ganesha and I, taken by Molly

Senja dan Peron

Aku duduk berdua di peron sebelah kiri, menggenggam sebuah botol air mineral yang terisi penuh. Perlahan aku buka penutupnya, aku dekatkan bibir botol ke bibirku. Satu, dua teguk sedikit mampu mendorong ganjalan di tenggorokanku yang menyebabkan sedaritadi aku susah berkata-kata. Aku menolehkan kepalaku kurang lebih 90° ke kanan. Kini yang aku lihat adalah bagian samping kiri wajahnya. Pandangannya lurus ke depan. Begitu serius ia memandangi jalur-jalur kereta itu seolah di sana berserakkan kata-kata yang gagal ia bawa ke telingaku. Sekali dua kali aku dengar ia menelan ludah. Pertanda apa aku tidak tahu.

Banyak orang lalu lalang di depan kami. Namun, tidak lebih banyak dari pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat terlontar di kepalaku. Jam putih bulat besar yang tegantung di dinding peron seberang menunjukkan pukul 18 lebih 45 menit. Jika kereta yang akan ia tumpangi tepat waktu, 15 menit lagi akan ada kereta Lodaya datang dari arah selatan di jalur 1. Tangan kananku tanpa sadar memutar-mutar penutup botol hingga tiba-tiba tergelincir jauh ke depanku. Aku bangkit dari kursiku. Belum sempurna aku berdiri, ia menarik tanganku sebagai isyarat agar aku tetap duduk di sampingnya.

"Duduk aja di sini," serunya.
"Cuma mau ambil tutup botol."
"Aku mau kamu duduk aja, seenggaknya sampai 15 menit lagi," balasnya dengan air mukanya sedikit berubah.

Ia pernah berkata padaku bahwa berdiam diri, tidak melakukan apa-apa, dan juga tanpa suara adalah menyenangkan asalkan bersama orang yang tepat. Di lima belas menit ini, pertanyaan di kepalaku bertambah, "Apa masih aku menjadi orang yang tepat? Jika iya, mengapa pergi? Atau yang kali ini bukan perkara bersama orang yang tepat melainkan perkara jarum panjang yang semakin medekat ke angka 12?"

Suara itu akhirnya terdengar. Tepat di pukul 19.00, gemuruh suara kereta itu akhirnya aku dengar. Kami berdua bangkit dari duduk. Kini kami berdiri berhadapan tanpa kata. Pandangan mataku menelusuri jauh ke dalam bola matanya yang sayu. Ia mulai memalingkan badannya membelakangiku dan kini jelas aku lihat tas cokelat yang menutupi punggungnya. Ia melangkah ke arah gerbong yang sesuai dengan yang tertera di tiket yang ia genggam.

Keretanya mulai melaju meninggalkan stasiun. Aku terlalu sibuk memikirkan salam perpisahan hingga lupa melambaikan tangan padanya tadi. Nyatanya, hingga tidak lagi terlihat keretanya, aku belum selesai memikirkan salam perpisahan. Yang memilukan dari sebuah perpisahan bukan perihal kerelaan melepaskan tapi kepastian untuk kembali. Harusnya aku tidak perlu lagi mempertanyakan kepastiannya kembali ke sini. Harusnya ini tidak sememilukan ini karena aku sudah tahu jawabannya.

Di peron ini dua hari yang lalu, aku menjumpainya dengan binar. Hari ini, masih di peron yang sama, aku melepasnya dengan nanar.

Aku berjalan ke arah pintu keluar. Baru beberapa langkah, aku terhenti. Lalu kubungkukkan badanku untuk mengambil penutup botolku yang masih tergeletak di lantai peron. Aku tutup botolku yang masih terisi setangahnya. Aku putar erat lalu buang di tempat sampah tidak jauh dari tempat aku berdiri. Aku tahu airnya memang masih tersisa tapi buat apa? Aku sudah tidak haus. Aku tahu aku masih ingin bersama tapi buat apa? Ia sudah tidak ingin lagi ada "kita".

Tuesday, March 11, 2014

Aman, Bebas


 Bagi aku, aman dan bebas itu dua hal yang bediri pada poros masing-masing dan tidak saling memberi pengaruh pada satu sama lain. Entah kalau kamu. Seringnya, kita berada dalam mandala yang bebas, begitu bebas tanpa ada yang menjamin kita aman. Justru, tanpa kita sadari, keamanan membelenggu kita untuk menyesap kebebasan. Apakah ketika melakukan bungee jumping, kita bebas? Seolah kita bebas; merentangkan tangan, terjun dari ketinggian puluhan bahkan ratusan meter, menerobos gugusan angin yang menerjang wajah, menikmati pemandangan elok, membiarkan rambut terkibas-kibas rancau, memacu adrenaline, merasa jiwa terlepas dari belenggu, pikiran penat luruh bersama jatuhnya tubuh mendekat bumi, dan hal-hal yang yang seolah membuat kita bebas hingga pada titik tertentu tali menggenggam erat kaki kita menahan laju kebebasan tadi. Kamu tahu? Tali ini adalah jelmaan dari keamanan yang nyata-nyata merenggut kebebasan kita. Keamanan dan pengaman membuat kita tidak bebas. Apa yang membuat kita bebas? Bukan keamanan, bukan pengaman. Kamu tahu parkour? Iya parkour itu seni gerak yang bertujuan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan begitu efisien dan cepat dengan menggunakan kemampuan tubuh manusia untuk melalui segala halang rintang, termasuk berpindah dari satu gedung ke gedung lain tanpa adanya pengaman yang melekat di tubuh. Untuk bisa melakukan ini pastilah harus disiplin berlatih dalam waktu yang tidak singkat. Inilah yang aku sebut bebas tanpa aman. Mereka melesat tanpa ada pengaman yang membuat mereka bebas bagai burung tanpa sangkar. Bukan pengaman atau keamanan yang membuat kita bebas tapi rasa aman. Mereka, para penggelut parkour, akan bergerak bebas karena mereka merasa aman oleh sebab telah mahir, bukan oleh sebab alat pengaman.

Dan mengapa banyak yang memilih 'aman' daripada 'bebas' ketika burung lebih memilih cakrawala ketimbang sangkar? Jika boleh aku mengibaratkan, mereka yang memilih 'aman' ketimbang bebas adalah burung yang memilih tinggal dalam sangkar. Tak perlu menggepakkan sayap untuk mencari makan, tidak perlu bergesa ketika hujan badai. Itu karena mereka tidak yakin akan dirinya sendiri, akan kemapuannya mencari makan, akan kebolehannya mengepakkan sayap. Jadi, buat mereka tak apalah terkurung murung dalam sangkar, tak melihat kemolekan alam ketika terbang mengudara, tak menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang menerjang, tak bisa bebas, asalkan persoalan makan dan minum esok hari aman.

Wednesday, March 05, 2014

Another Petrichor


Lady Chatterley's Lover, 1959

Another tempting smell besides petrichor; the smell of old book. It's relaxing. "The pleasant aromatic smell is due to aromatic compounds emitted mainly from papers made from ground wood which are characterised by their yellowish-brown colour."


Am I?

When everything seems to get harder and harder, my desire to go home's getting bigger and bigger. In every cold night, a question haunts me and no matter where I hide, it always finds me. If I could describe how I hate this question, I'd maybe spend hundreds pieces of paper to write it down. A simple question but the most annoying one; is this -the way I'm taking- the right way to go home?


"Am I on the right track? Am I heading to my home? Am I doing right?"

Sunday, February 23, 2014

What's your choice?

A glass of hot tea.

An ice cream.

A glass of cappuccino.

A glass of ice chocolate.

A cup of hot Milo.
You may choose what you want to choose since everybody has their own choice which can be different from others. Most of us will choose what makes us happy and for we have different definition of "happiness", we'll be happy by our own way, by our own choice. Because there's no "you" in the list, a glass of cappuccino is my choice making me happy the most. A glass of cappuccino, without "cincau", of course. What's yours?