Thursday, September 11, 2014
Butuh Berada di Rumah dan 'Rumah'
Racun
Saturday, August 30, 2014
Revolusi
Bertemu Rindu
Sunday, August 24, 2014
Hehehe
Seorang saya: Sastra Inggris
Seorang teman: Lah, ngapain lo jauh-jauh ke Bandung belajar bahasa Inggris. Di LIA juga bisa. (dengan tersenyum kecut)
Seorang saya: Hehehe
*minutes later*
Seorang teman: Eh iya, ajarin gue TOEFL dong, gue mau ambil tes IELTS nih.
Seorang saya: TOEFL apa IELTS?
Seorang teman: Loh emang beda ya?
Seorang saya: Hehehehehe (dengan tersenyum manis)
That was actually the answer why I go so far to learn English, dude.
Saturday, August 23, 2014
Wedding
"Perempuan, usia 22, bicara soal wedding" adalah satu tingkat di atas "perempuan, usia 22, bicara soal marriage”. Mengapa? Karena wedding sifatnya lebih nyata, marriage sifatnya lebih abstrak karena bicara konsep di dalam kepala dan keteguhan di dalam hati. Perempuan, usia 22. Kata-kata begitu sudah pantas terujar.
Konsep wedding dan perempuan. Perempuan pasti punya konsep wedding impiannya sendiri-sendiri ya. Mulai dari baju, konsep acara, adat, venue, warna, makanan, souvenir, dll. Kalau dibahas di sini rasanya jempol aku bisa lecet. Jadi, ya bahas konsep wedding impian aku aja.
Ketika banyak perempuan yang punya konsep wedding yang begitu luar biasa, yang telintas di kepalaku, bukan tentang bagaimana indahnya, tetapi bagaimana ribetnya. Entah sejak kapan, aku ingin ketika menikah nanti (entah di usia berapa dan dengan siapa) semuanya serba sederhana dan khidmat. Aku mau tanpa ada acara resepsi, tanpa ada acara-acara adat yang begitu banyak dan melelahkan sebelumnya, termasuk acara siraman.
Aku mau menikah dalam sebuah venue yang tidak usah terlalu besar. Yang sebagian sisinya dikelilingi jendela dan pintu kaca sehingga hijau rerumputan di luar bisa terlihat. Hanya ada beberapa bangku tamu berpita putih. Mungkin sekitar 50 saja. Dan di bagian depan, ada jejeran bangku dan sebuah meja yang dipersiapkan untuk ijab kabul di pukul 8 pagi, di hari Sabtu. Di bagian sisi ada meja-meja yang di atasnya berjejer hidangan sederhana untuk yang datang. Ada cangkir-cangkir teh hangat dan kopi-kopi yang aromanya sudah bisa tercium dari balik ruangan aku berhias. Ada balon-balon tempat foto-foto penuh cerita menggantung. Dan bunga-bunga secukupnya.
Tamu-tamu yang datang tidak perlu banyak. 50 itu kalau boleh hanya di isi oleh keluarga inti kedua belah pihak dan rekan-rekan dekat. Rekan-rekan yang datang karena ingin turut berbahagia mengantar rekannya menuju satu tahap kehidupan yang baru. Rekan-rekan yang datang bukan untuk “kondangan”. Rekan-rekan yang dengan haru ikut menjadi bagian dari ritual bernama ‘nikah’ ini. Aku ngga mau di acara pernikahanku, banyak tamu yang aku sendiri tidak tau siapa. Yang datang untuk kondangan dan memenuhi undangan dari orang tuaku saja, misalnya. Aku ingin mereka yang datang adalah mereka yang benar-benar datang untuk aku dan si mempelai pria. Perempuan, usia 22, sudah boleh bicara soal mempelai pria.
Tepat jam 8, dalam suasana yang begitu sakral, dan maaf, tanpa adanya suara anak-anak, ijab kabul dimulai. Seiring tumbangnya haru biru, suka cita mulai terlahir. Dilanjutkan acara khidmat meminta restu dengan sungkem kepada dua pasang orang tua. Lalu, makan bersama. Begitu dekat dan intim. Diiringin musik yang tenang dan hangat. Menjelang siang acara sudah bisa berakhir. Sederhana.
Aku mau yang begitu saja. Tidak perlu banyak biaya. Yang sederhana saja. Yang penting dokumentasi juara. Hahahah.
Ini hanya keinginan. Berusaha mewujudkan, bila tidak terwujud ya tidak papa.
Perempuan, usia 22, sudah boleh punya mimpi tentang pernikahnnya.
Merangkum Senja
Friday, July 18, 2014
Being Old
Days ago while standing in a roadside, there was a public transportation coming aside. From the place I stood, I saw a very old man sitting next to the driver. He slowly handed money to the driver then opened the car door powerlessly. It took a long time for the old man whose hair was all white to get down from the car. He was just too old. In every move he made, he trembled. Unlike other people needing just a second to get down, he needed more than 5 minutes. Even his time to take his foot to the ground was still longer than the time I need to post 4-5 tweets. It was one of teary scenes I had ever seen live. When he had successfully touched the ground, I even saw a sadder scene then. He found difficulty in turning his body after closed the car door. It is just a piece of cake for us to turn our body, but not for him. Again, he trembled while moving his feet to the direction he needed to take. Literally, it took a long time for him just to get down from a car and turn his body. Then, he made some steps ahead, absolutely in a very slow way. After some steps he took, he disappeared. He was out of my range of view. What came to my mind after it was how could. How could he travel alone using a public transportation? How could his children let him do it? Moreover, how could I just let it happen without doing anything; without helping? How could I be so heartless? Honestly, I was so saddened.
I hope that in the future I have no time to let my parents walk or travel alone; I have no time to say no when they ask me to accompany them; I have no time to let them wait me to answer their calls in a long time; I have no time to let them have a dinner alone; I have no time to make them feel alone.
Saturday, June 21, 2014
Keheningan
Apakah iya keheningan memberi jarak di antara kita? Atau justru ia yang menjadi penghubung? Karena nyatanya jembatan kayu yang hampir putuslah yang menghubungkan, bukan memisahkan. Begini. Keheningan ini bagai sungai di bawah jembatan. Keheningan ini terus mengalir bagai aliran sungai yang ujungnya entah di mana. Keheningan ini entah bermuara pada sapa yang mana. Keheningan ini seolah memberi jarak agar rindu bertempat. Rindu ini bagai jembatan kayu, membentang di antara kita seolah menjadi penghubung. Namun sayang, tidak jua kita terhubung. Tak satupun dari kita berdaya untuk melintasi jembatan itu. Tak satupun dari kita ikhlas melipat rindu. Hingga tiba saatnya rindu benar-benar berlaku bagai jembatan usang yang rapuh. Putus tebawa arus. Yang tersisa pada akhirnya hanyalah keheningan. Keheningan yang konstan.
Friday, May 30, 2014
Candu
Tuesday, May 27, 2014
Monologue
Her: ah~ no one can replace you. YOU WILL ALWAYS BE ON THE TOP TOP TOP LIST
Me: :)
Saturday, April 19, 2014
HAPPY 22ND BIRHTDAY, ARI RADITYO
We've been friends since we were in junior high school. We were classmates at that time. As classmates, we just had a very ordinary friendship. Not too close, I mean. However, we were getting closer when were in 3rd grade for we studied at the same course. We went to the course together after school with our other friends, Debby, Della, Ike, and... Ninik. We had lunch together as well. And our favorite place to eat was Amigos near to Unis. One thing that's impossible to forget is that you always ordered an extra spicy ketoprak with more than 10 chilies. You said that it could make your fat burn because you would get too much sweat after eating that extra hot ketoprak. Funny of you.
When we were in high school, we always kept in touch. We went to movie together, hangout together, and still had a good communication. When we were in 3rd grade, we studied in the same course again, only you and I without Della, Ike, Debby, or Ninik. We were so close that the receptionist of our course thought that we were a couple. Funny of us.
In the end of my 3rd grade period, I took a course to be able to continue my study to STAN. I took it with my other friends. We were taught by 2 tutors. Both of them were the students of STAN. Long story short, one of my tutor was actually your elder brother. Funny of the universe.
Four years ago, I successfully passed the test to be able to study at UNPAD and you got a ticket to study Economics at UNSOED. A hundred-mile distance can't beat us. We still have a good communication until now. We still hangout together with Della, Debby, and Ike too and you become the closest boy friend of mine. Many people think that we are a couple. I'm too tired to tell them that we're friends and now, I'll say yes as a response to their thoughts. Funny of them.
Last year, unfortunately Debby, Ike, and I forgot your birthday. No one remembered it but Della. I always feel guilty for my bad. I promise to myself that I won't do it again and yes I prove my promise. Today is your birthday. I actually cannot come to where you are now and directly say 'HAPPY BIRTHDAY' to you but I hope this not-so-good words can be such substitution. Happy birthday, ARI RADITYO. My best prayers go to you. Have a best of lucks.
Wednesday, April 09, 2014
A Dream Catcher
I Participated

Saturday, April 05, 2014
Senja
Dalam sore yang semakin menjingga, kita memaksa daya ingat kita untuk bekerja lebih keras, untuk mengingat-ingat hal-hal yang tertinggal di hari kemarin, dari yang mengharukan sampai yang memilukan. Ah tapi itu semua akhirnya hanya akan menyisakan simpul manis di ujung bibir kita. Kita hanyut dalam abu-abu. Sekadar bernostalgia untuk kemudian semakin giat bersyukur kepada Tuhan yang telah menggenapkan kebahagiaan.
Bukankah itu indah, ketika kita senada dalam balutan jaket rajut yang melindungi tubuh renta kita dari terpaan angin yang mahadingin? Entahlah, mungkin juga tidak begitu. Mungkin saja kau masih senang mengenakan rok-rok pendek, celana di atas lutut, polo shirt, flanel kotak-kotak, celana jeans sobek, dress-dress cantik, hijab terlilit-lilit, cardigan, atau kaos-kaos warna-warni. Aku sebenarnya tidak begitu peduli apa yang kau kenakan tetapi sebetulnya itu bisa sangat membantu ingatanku untuk mengenalimu. Bukan karena aku sombong tapi bukannya memang begitu, menjadi tua identik dengan menjadi pikun?
Ah indah rasanya berkumpul lagi denganmu di kala senja. Ketika wajahku bertemu wajahmu nanti, akan kubaca lagi semua kisah kita yang tersimpan rapi dalam lekuk-lekuk kulit wajahmu. Hingga tiba saatnya di mana satu per satu dari kita harus kembali pulang ke rumah ditemani gelapnya langit malam yang berbintang.
Friday, April 04, 2014
Memapar
God be With You, Umam
Lilacs out of the dead land, mixing
Memory and desire, stirring
Dull roots with spring rain."
T.S. Elliot
Dear, alm. Chaerul Umam (Eglish Department 2011, Unpad)
On March 28, I wrote something about you here. Today, April 4, I'm gonna do it again.
I got shocked this morning. I received some messages telling me about you. They told me that you've come back "home". After sleeping for a long time, you're now sleeping forever. Are you that sleepy, Umam?
You haven't read all those tweets mentioning you. Let me tell you about this. They all wished that you wake up as soon as possible (they miss you so), play football together again, come back to campus, share laugh like yesterday, and many more but in fact, you were too tired and sleepy for those things. That was okay, boy.
Umam, was God missing you so bad that He called you as fast as this? I guess, yes. You're safe now. You're with your God. You're healthier than ever. Now, I know why you slept that long. God saved you for this Friday (April 4, 2014). He wanted you to come back home on Friday; a great day. There's no better day to say goodbye than Friday.
Our deep condolences go to you. May your family be in strength. Rest in peace, Chaerul Umam.
Sunday, March 30, 2014
FJ Cafe, Bandung
Seterusnya Begitu
datang yang mendatang bersama angin
yang lalu yang tidak pernah dilupa
yang datang yang tidak pernah dikira
begitu indah dengan warna sejuta warna
begitu peluh dengan keluh sejuta luluh
kemarin menari dan bernyanyi
dan seterusnya begitu
An Amateurish Stalker
I'm an amateurish stalker who unintentionally tapped favorite button several times when stalking. I was not stalking, btw. I was just visiting some twitter pages of certain people just to menjalin tali silahturahmi. *malu abis*
Saturday, March 29, 2014
Stop Explaining
When you have a very-close boy friend but everyone thinks he's your boyfriend, what will you do? Just don't care or try to explain? At first, I explained but got tired already. Now, I just laugh and say "yes", which makes them think what they think is true.
Friday, March 28, 2014
Wake Up, Umam.
Mirror of Me
![]() |
Mollyna Ezyando |
![]() |
Giustia Puspa Geoda |
![]() |
Annisa Cahaya Ratih |
![]() |
Tiara Aninditha |
![]() |
Ika Juniastuti |
![]() |
Astri Kusuma Ning Dyah |
![]() |
Ganeshaloudya Sutrisna Putri |
![]() |
Febriana Sekar Wijayanti |
![]() |
Debby Ulfah |
![]() |
Dela Pratiwi Sany |
![]() |
Ari Radityo |
![]() |
Ineke Dwiyanti |
Gratisan is Good
Some People Want
Some people want to be reborn as someone else.
Some people want to be reborn in another family.
Am I the only one wanting to be reborn in another city?
Just went to some Instagram pages of my acquaintances. I read their photos as if each photo were a page full of sentences telling me a story. I slowly went from one photo to another just like I went from a page to another page of their life-journey book. I read them carefully. For me, a row of photos there was such a bucket of stories they had been through based on my own interpretation. Every little thing captured besides the main object in the photos gave me something to elaborate their stories just like extrinsic aspects of a novel. I went from an event to another event of their life. I felt like I was an amateurish explorer.
It was such an entertaining thing to do.
Brace Me Up
Something we belong to braces us up.
Going Home
Whenever you’re going home, whenever you miss your mom so bad, the road unreasonably becomes so much longer and the traffic unexpectedly becomes worse and worse.
And I was indescribably happy seeing my mom after a long time, being home.
March 23, 2014.
Wednesday, March 12, 2014
Tutur
I just love listening their stories. I just love them.
![]() |
Ijun, Niar, Edha, taken by Nuning |
![]() |
Ganesha and I, taken by Molly |
Senja dan Peron
Banyak orang lalu lalang di depan kami. Namun, tidak lebih banyak dari pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat terlontar di kepalaku. Jam putih bulat besar yang tegantung di dinding peron seberang menunjukkan pukul 18 lebih 45 menit. Jika kereta yang akan ia tumpangi tepat waktu, 15 menit lagi akan ada kereta Lodaya datang dari arah selatan di jalur 1. Tangan kananku tanpa sadar memutar-mutar penutup botol hingga tiba-tiba tergelincir jauh ke depanku. Aku bangkit dari kursiku. Belum sempurna aku berdiri, ia menarik tanganku sebagai isyarat agar aku tetap duduk di sampingnya.
"Duduk aja di sini," serunya.
"Cuma mau ambil tutup botol."
"Aku mau kamu duduk aja, seenggaknya sampai 15 menit lagi," balasnya dengan air mukanya sedikit berubah.
Ia pernah berkata padaku bahwa berdiam diri, tidak melakukan apa-apa, dan juga tanpa suara adalah menyenangkan asalkan bersama orang yang tepat. Di lima belas menit ini, pertanyaan di kepalaku bertambah, "Apa masih aku menjadi orang yang tepat? Jika iya, mengapa pergi? Atau yang kali ini bukan perkara bersama orang yang tepat melainkan perkara jarum panjang yang semakin medekat ke angka 12?"
Suara itu akhirnya terdengar. Tepat di pukul 19.00, gemuruh suara kereta itu akhirnya aku dengar. Kami berdua bangkit dari duduk. Kini kami berdiri berhadapan tanpa kata. Pandangan mataku menelusuri jauh ke dalam bola matanya yang sayu. Ia mulai memalingkan badannya membelakangiku dan kini jelas aku lihat tas cokelat yang menutupi punggungnya. Ia melangkah ke arah gerbong yang sesuai dengan yang tertera di tiket yang ia genggam.
Keretanya mulai melaju meninggalkan stasiun. Aku terlalu sibuk memikirkan salam perpisahan hingga lupa melambaikan tangan padanya tadi. Nyatanya, hingga tidak lagi terlihat keretanya, aku belum selesai memikirkan salam perpisahan. Yang memilukan dari sebuah perpisahan bukan perihal kerelaan melepaskan tapi kepastian untuk kembali. Harusnya aku tidak perlu lagi mempertanyakan kepastiannya kembali ke sini. Harusnya ini tidak sememilukan ini karena aku sudah tahu jawabannya.
Di peron ini dua hari yang lalu, aku menjumpainya dengan binar. Hari ini, masih di peron yang sama, aku melepasnya dengan nanar.
Aku berjalan ke arah pintu keluar. Baru beberapa langkah, aku terhenti. Lalu kubungkukkan badanku untuk mengambil penutup botolku yang masih tergeletak di lantai peron. Aku tutup botolku yang masih terisi setangahnya. Aku putar erat lalu buang di tempat sampah tidak jauh dari tempat aku berdiri. Aku tahu airnya memang masih tersisa tapi buat apa? Aku sudah tidak haus. Aku tahu aku masih ingin bersama tapi buat apa? Ia sudah tidak ingin lagi ada "kita".
Tuesday, March 11, 2014
Aman, Bebas
Bagi aku, aman dan bebas itu dua hal yang bediri pada poros masing-masing dan tidak saling memberi pengaruh pada satu sama lain. Entah kalau kamu. Seringnya, kita berada dalam mandala yang bebas, begitu bebas tanpa ada yang menjamin kita aman. Justru, tanpa kita sadari, keamanan membelenggu kita untuk menyesap kebebasan. Apakah ketika melakukan bungee jumping, kita bebas? Seolah kita bebas; merentangkan tangan, terjun dari ketinggian puluhan bahkan ratusan meter, menerobos gugusan angin yang menerjang wajah, menikmati pemandangan elok, membiarkan rambut terkibas-kibas rancau, memacu adrenaline, merasa jiwa terlepas dari belenggu, pikiran penat luruh bersama jatuhnya tubuh mendekat bumi, dan hal-hal yang yang seolah membuat kita bebas hingga pada titik tertentu tali menggenggam erat kaki kita menahan laju kebebasan tadi. Kamu tahu? Tali ini adalah jelmaan dari keamanan yang nyata-nyata merenggut kebebasan kita. Keamanan dan pengaman membuat kita tidak bebas. Apa yang membuat kita bebas? Bukan keamanan, bukan pengaman. Kamu tahu parkour? Iya parkour itu seni gerak yang bertujuan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan begitu efisien dan cepat dengan menggunakan kemampuan tubuh manusia untuk melalui segala halang rintang, termasuk berpindah dari satu gedung ke gedung lain tanpa adanya pengaman yang melekat di tubuh. Untuk bisa melakukan ini pastilah harus disiplin berlatih dalam waktu yang tidak singkat. Inilah yang aku sebut bebas tanpa aman. Mereka melesat tanpa ada pengaman yang membuat mereka bebas bagai burung tanpa sangkar. Bukan pengaman atau keamanan yang membuat kita bebas tapi rasa aman. Mereka, para penggelut parkour, akan bergerak bebas karena mereka merasa aman oleh sebab telah mahir, bukan oleh sebab alat pengaman.
Dan mengapa banyak yang memilih 'aman' daripada 'bebas' ketika burung lebih memilih cakrawala ketimbang sangkar? Jika boleh aku mengibaratkan, mereka yang memilih 'aman' ketimbang bebas adalah burung yang memilih tinggal dalam sangkar. Tak perlu menggepakkan sayap untuk mencari makan, tidak perlu bergesa ketika hujan badai. Itu karena mereka tidak yakin akan dirinya sendiri, akan kemapuannya mencari makan, akan kebolehannya mengepakkan sayap. Jadi, buat mereka tak apalah terkurung murung dalam sangkar, tak melihat kemolekan alam ketika terbang mengudara, tak menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang menerjang, tak bisa bebas, asalkan persoalan makan dan minum esok hari aman.
Wednesday, March 05, 2014
Another Petrichor
Am I?
"Am I on the right track? Am I heading to my home? Am I doing right?"
Sunday, February 23, 2014
What's your choice?
![]() |
A glass of hot tea. |
![]() |
An ice cream. |
![]() |
A glass of cappuccino. |
![]() |
A glass of ice chocolate. |
![]() |
A cup of hot Milo. |