Aku duduk berdua di peron sebelah kiri, menggenggam sebuah botol air mineral yang terisi penuh. Perlahan aku buka penutupnya, aku dekatkan bibir botol ke bibirku. Satu, dua teguk sedikit mampu mendorong ganjalan di tenggorokanku yang menyebabkan sedaritadi aku susah berkata-kata. Aku menolehkan kepalaku kurang lebih 90° ke kanan. Kini yang aku lihat adalah bagian samping kiri wajahnya. Pandangannya lurus ke depan. Begitu serius ia memandangi jalur-jalur kereta itu seolah di sana berserakkan kata-kata yang gagal ia bawa ke telingaku. Sekali dua kali aku dengar ia menelan ludah. Pertanda apa aku tidak tahu.
Banyak orang lalu lalang di depan kami. Namun, tidak lebih banyak dari pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat terlontar di kepalaku. Jam putih bulat besar yang tegantung di dinding peron seberang menunjukkan pukul 18 lebih 45 menit. Jika kereta yang akan ia tumpangi tepat waktu, 15 menit lagi akan ada kereta Lodaya datang dari arah selatan di jalur 1. Tangan kananku tanpa sadar memutar-mutar penutup botol hingga tiba-tiba tergelincir jauh ke depanku. Aku bangkit dari kursiku. Belum sempurna aku berdiri, ia menarik tanganku sebagai isyarat agar aku tetap duduk di sampingnya.
"Duduk aja di sini," serunya.
"Cuma mau ambil tutup botol."
"Aku mau kamu duduk aja, seenggaknya sampai 15 menit lagi," balasnya dengan air mukanya sedikit berubah.
Ia pernah berkata padaku bahwa berdiam diri, tidak melakukan apa-apa, dan juga tanpa suara adalah menyenangkan asalkan bersama orang yang tepat. Di lima belas menit ini, pertanyaan di kepalaku bertambah, "Apa masih aku menjadi orang yang tepat? Jika iya, mengapa pergi? Atau yang kali ini bukan perkara bersama orang yang tepat melainkan perkara jarum panjang yang semakin medekat ke angka 12?"
Suara itu akhirnya terdengar. Tepat di pukul 19.00, gemuruh suara kereta itu akhirnya aku dengar. Kami berdua bangkit dari duduk. Kini kami berdiri berhadapan tanpa kata. Pandangan mataku menelusuri jauh ke dalam bola matanya yang sayu. Ia mulai memalingkan badannya membelakangiku dan kini jelas aku lihat tas cokelat yang menutupi punggungnya. Ia melangkah ke arah gerbong yang sesuai dengan yang tertera di tiket yang ia genggam.
Keretanya mulai melaju meninggalkan stasiun. Aku terlalu sibuk memikirkan salam perpisahan hingga lupa melambaikan tangan padanya tadi. Nyatanya, hingga tidak lagi terlihat keretanya, aku belum selesai memikirkan salam perpisahan. Yang memilukan dari sebuah perpisahan bukan perihal kerelaan melepaskan tapi kepastian untuk kembali. Harusnya aku tidak perlu lagi mempertanyakan kepastiannya kembali ke sini. Harusnya ini tidak sememilukan ini karena aku sudah tahu jawabannya.
Di peron ini dua hari yang lalu, aku menjumpainya dengan binar. Hari ini, masih di peron yang sama, aku melepasnya dengan nanar.
Aku berjalan ke arah pintu keluar. Baru beberapa langkah, aku terhenti. Lalu kubungkukkan badanku untuk mengambil penutup botolku yang masih tergeletak di lantai peron. Aku tutup botolku yang masih terisi setangahnya. Aku putar erat lalu buang di tempat sampah tidak jauh dari tempat aku berdiri. Aku tahu airnya memang masih tersisa tapi buat apa? Aku sudah tidak haus. Aku tahu aku masih ingin bersama tapi buat apa? Ia sudah tidak ingin lagi ada "kita".
No comments:
Post a Comment