Monday, September 24, 2012

Lupa

Ini seperti cubitan yang aku buat sendiri di lenganku. Seperti sentilan di daun telinga kananku oleh tangan kananku sendiri. Orang lain tidak akan bisa merasakan apa yang aku rasa. Mungkin ini yang selama ini aku lupa. Lupa bahwa aku dengan pasti tidak akan pernah bisa merasakan dengan persis apa yang orang lain rasakan. Lupa bahwa bicara sinis tentang sesuatu itu mudah karena bukan aku yang merasakannnya. Lupa untuk mengingatkan diri sendiri; "Aku tidak merasakan apa yang mereka rasa." Lupa bahwa banyak hal yang sama sekali tidak aku pahami. Lupa untuk menjaga pendapat dan mengontrol pikiran. Tapi aku tidak pernah lupa ada yang pernah menyindirku dengan "20 something loh. grow up." Ini giliran dia yang lupa bagaimana dia kemarin :)

Wednesday, September 05, 2012

#2 Perkara Jarak

"And I will make sure to keep my distance. Say "I love you" when you're not listening. How long can we keep this up, up, up?" 
Distance – Christina Perri

Jarak. Aku baru tahu kalau skala paling jauh dalam sebuah jarak ternyata bukanlah bermarga angka. Jarak yang masih bisa dikonversi ke dalam angka, seberapapun besar angka itu, adalah jarak yang tidak sebegitu jauh. Aku baru tahu, jarak bukanlah sekedar berapa jauh aku bisa memandang sesuatu, bukanlah berapa banyak detik yang aku habiskan untuk mencapai suatu tempat, dan bukanlah seberapa jauh aku bisa mendengar suara yang keluar dari sumber suara. Ternyata jarak itu lebih abstrak dari itu.

Jarak itu kadang membingungkan, hmm tapi lebih sering menipu. Kadang aku ditipu oleh jarak yang seringnya aku nikmati. Aku pernah berada di suatu tempat, berempat. Dekat sekali mereka denganku. Dari tempat di mana aku duduk, aku bisa meraih tangan mereka, mendengar bisikan mereka, melihat jelas detil yang mereka kerjakan, pun menelaah apa yang ada di pikiran mereka. Namun, mereka tidak sedekat yang terlihat, tak semerdu yang terdengar. Mereka jauh di awang-awang. Jiwanya tak bersamaku. Aku ditipu oleh jarak.

Namun, ada yang lebih membingungkan dari itu. Di sini, di tempat aku berdiri, ada yang sangat jauh dari pandangan mataku, tapi aku melihatnya jelas seperti aku melihat bintang di langit malam kemarin. Dan itu juga samar-samar dari telingaku, tapi memengangkan kepalaku. Banyak suaranya di kepalaku. Aku juga baru tahu bahwa inilah yang unik dari jarak. Kadang, kita dapat mendengar sesuatu yang tanpa melalui telinga kita. Benar, kan bahwa jarak bukan tentang angka?

Hal lain yang baru aku sadari, ternyata jarak itu subjektif. Besaran jarak -yang entah namanya apa- yang aku punya terhadap seseorang tidak pernah sama dengan besaran jarak yang dipunya orang itu kepadaku. Bisa saja, orang yang bisa dengan jelas aku lihat meskipun sangat jauh dari pandangan mataku itu sama sekali tidak melihat, apalagi menyadari keberadaanku. Dan begitu sepertinya kenyataannya.

Jarak memainkan perannya dengan baik di hidup kita tanpa harus melulu bermain dengan angka. Angka sama sekali tidak merefleksikan jarak, buktinya jarak hati seseorang terhadap orang lain juga tidak pernah ada yang tahu sejauh mana. Itu sebabnya kadang kita jatuh karena tidak tahu di mana harus berhenti, tidak tahu harus berjalan sejauh apa. Tapi kadang, jarak itu perlu agar kita semakin dekat.


#30HariLagukuBercerita

Saturday, September 01, 2012

#1 Perkara 'Karena'

"The perfect words never crossed my mind. 'Cause there was nothing in there but you." 
Signal Fire - Snow Patrol

Kemarin ada yang bertanya dalam canda kepadaku, adakah dari sekian tulisan yang kutulis 8 bulan lalu itu ditujukan padanya. Aku bilang 'tidak' dengan cepat tanpa ada ragu yang menghambat. Kemudian, entah oleh kemudi siapa, percakapan berikutnya berjalan seperti yang sudah-sudah, khas percakapan waktu senggang. Aku tidak terlalu berharap dia menyodorkan kata 'mengapa' diikuti tanda tanya setalah aku jawab 'tidak'. Aku rasa, aku bukan seorang ahli dalam menyusun kata-kata untuk membangun sebuah kalimat yang dimulai dengan kata 'karena'. Pengalaman beri aku tahu, akan ada terlalu banyak fiksi yang terlibat di sana dan iya, aku bodoh dalam fiksi. 

Jika sampai waktu itu dia bertanya mengapa, maka dengan sigap tanpa komando, pertanyaan itu hanya akan kembali terjawab olehku dengan pertanyaan yang hampir mirip; "kenapa ya?" yang sama sekali tidak mengandung unsur paksaan dan kewajiban baginya untuk menjawab.

Selang beberapa hari sejak percakapan itu, pada satu pagi yang biasa, aku seperti dijatuhi ilham -atau apalah namanya aku tidak paham- saat mendengarkan sebuah lagu lama yang pernah begitu melekat di sela-sela rongga kepalaku beberapa tahun silam. Ilham -aku sebut saja begitu- ini seperti memberi tahu aku bahwa tidak semua kalimat tanya yang dimulai dengan kata 'mengapa' dan diakhiri tanda tanya memiliki keharusan untuk dijawab dengan sebuah kalimat yang dimulai dengan 'karena'. Di banyak hal, penggalan lagu memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku untuk menjadi sebuah jawaban bagi sebuah pertanyaan. 

Jadi, jika suatu saat nanti dia bertanya mengapa tidak ada tulisanku 8 bulan lalu yang ditujukan kepadanya, aku bisa menjawab dengan jawaban pasti tanpa perlu 'karena'. Aku akan jawab, "The perfect words never crossed my mind. 'Cause there was nothing in there but you." Tetapi jika ada yang memaksaku untuk menjawab dengan 'karena', aku bisa apa? Aku akan bilang, "Karena tidak pernah aku punya kata-kata yang indah dibenakku untukmu, yang ada hanya kamu." Hahah jangan pikir aku sudah pandai menyusun kata-kata untuk membangun kalimat bermulakan 'karena', aku hanya mengalihbahasakannya saja.

#30HariLagukuBercerita