Sunday, March 30, 2014
FJ Cafe, Bandung
Seterusnya Begitu
datang yang mendatang bersama angin
yang lalu yang tidak pernah dilupa
yang datang yang tidak pernah dikira
begitu indah dengan warna sejuta warna
begitu peluh dengan keluh sejuta luluh
kemarin menari dan bernyanyi
dan seterusnya begitu
An Amateurish Stalker
I'm an amateurish stalker who unintentionally tapped favorite button several times when stalking. I was not stalking, btw. I was just visiting some twitter pages of certain people just to menjalin tali silahturahmi. *malu abis*
Saturday, March 29, 2014
Stop Explaining
When you have a very-close boy friend but everyone thinks he's your boyfriend, what will you do? Just don't care or try to explain? At first, I explained but got tired already. Now, I just laugh and say "yes", which makes them think what they think is true.
Friday, March 28, 2014
Wake Up, Umam.
Mirror of Me
![]() |
Mollyna Ezyando |
![]() |
Giustia Puspa Geoda |
![]() |
Annisa Cahaya Ratih |
![]() |
Tiara Aninditha |
![]() |
Ika Juniastuti |
![]() |
Astri Kusuma Ning Dyah |
![]() |
Ganeshaloudya Sutrisna Putri |
![]() |
Febriana Sekar Wijayanti |
![]() |
Debby Ulfah |
![]() |
Dela Pratiwi Sany |
![]() |
Ari Radityo |
![]() |
Ineke Dwiyanti |
Gratisan is Good
Some People Want
Some people want to be reborn as someone else.
Some people want to be reborn in another family.
Am I the only one wanting to be reborn in another city?
Just went to some Instagram pages of my acquaintances. I read their photos as if each photo were a page full of sentences telling me a story. I slowly went from one photo to another just like I went from a page to another page of their life-journey book. I read them carefully. For me, a row of photos there was such a bucket of stories they had been through based on my own interpretation. Every little thing captured besides the main object in the photos gave me something to elaborate their stories just like extrinsic aspects of a novel. I went from an event to another event of their life. I felt like I was an amateurish explorer.
It was such an entertaining thing to do.
Brace Me Up
Something we belong to braces us up.
Going Home
Whenever you’re going home, whenever you miss your mom so bad, the road unreasonably becomes so much longer and the traffic unexpectedly becomes worse and worse.
And I was indescribably happy seeing my mom after a long time, being home.
March 23, 2014.
Wednesday, March 12, 2014
Tutur
I just love listening their stories. I just love them.
![]() |
Ijun, Niar, Edha, taken by Nuning |
![]() |
Ganesha and I, taken by Molly |
Senja dan Peron
Banyak orang lalu lalang di depan kami. Namun, tidak lebih banyak dari pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat terlontar di kepalaku. Jam putih bulat besar yang tegantung di dinding peron seberang menunjukkan pukul 18 lebih 45 menit. Jika kereta yang akan ia tumpangi tepat waktu, 15 menit lagi akan ada kereta Lodaya datang dari arah selatan di jalur 1. Tangan kananku tanpa sadar memutar-mutar penutup botol hingga tiba-tiba tergelincir jauh ke depanku. Aku bangkit dari kursiku. Belum sempurna aku berdiri, ia menarik tanganku sebagai isyarat agar aku tetap duduk di sampingnya.
"Duduk aja di sini," serunya.
"Cuma mau ambil tutup botol."
"Aku mau kamu duduk aja, seenggaknya sampai 15 menit lagi," balasnya dengan air mukanya sedikit berubah.
Ia pernah berkata padaku bahwa berdiam diri, tidak melakukan apa-apa, dan juga tanpa suara adalah menyenangkan asalkan bersama orang yang tepat. Di lima belas menit ini, pertanyaan di kepalaku bertambah, "Apa masih aku menjadi orang yang tepat? Jika iya, mengapa pergi? Atau yang kali ini bukan perkara bersama orang yang tepat melainkan perkara jarum panjang yang semakin medekat ke angka 12?"
Suara itu akhirnya terdengar. Tepat di pukul 19.00, gemuruh suara kereta itu akhirnya aku dengar. Kami berdua bangkit dari duduk. Kini kami berdiri berhadapan tanpa kata. Pandangan mataku menelusuri jauh ke dalam bola matanya yang sayu. Ia mulai memalingkan badannya membelakangiku dan kini jelas aku lihat tas cokelat yang menutupi punggungnya. Ia melangkah ke arah gerbong yang sesuai dengan yang tertera di tiket yang ia genggam.
Keretanya mulai melaju meninggalkan stasiun. Aku terlalu sibuk memikirkan salam perpisahan hingga lupa melambaikan tangan padanya tadi. Nyatanya, hingga tidak lagi terlihat keretanya, aku belum selesai memikirkan salam perpisahan. Yang memilukan dari sebuah perpisahan bukan perihal kerelaan melepaskan tapi kepastian untuk kembali. Harusnya aku tidak perlu lagi mempertanyakan kepastiannya kembali ke sini. Harusnya ini tidak sememilukan ini karena aku sudah tahu jawabannya.
Di peron ini dua hari yang lalu, aku menjumpainya dengan binar. Hari ini, masih di peron yang sama, aku melepasnya dengan nanar.
Aku berjalan ke arah pintu keluar. Baru beberapa langkah, aku terhenti. Lalu kubungkukkan badanku untuk mengambil penutup botolku yang masih tergeletak di lantai peron. Aku tutup botolku yang masih terisi setangahnya. Aku putar erat lalu buang di tempat sampah tidak jauh dari tempat aku berdiri. Aku tahu airnya memang masih tersisa tapi buat apa? Aku sudah tidak haus. Aku tahu aku masih ingin bersama tapi buat apa? Ia sudah tidak ingin lagi ada "kita".
Tuesday, March 11, 2014
Aman, Bebas
Bagi aku, aman dan bebas itu dua hal yang bediri pada poros masing-masing dan tidak saling memberi pengaruh pada satu sama lain. Entah kalau kamu. Seringnya, kita berada dalam mandala yang bebas, begitu bebas tanpa ada yang menjamin kita aman. Justru, tanpa kita sadari, keamanan membelenggu kita untuk menyesap kebebasan. Apakah ketika melakukan bungee jumping, kita bebas? Seolah kita bebas; merentangkan tangan, terjun dari ketinggian puluhan bahkan ratusan meter, menerobos gugusan angin yang menerjang wajah, menikmati pemandangan elok, membiarkan rambut terkibas-kibas rancau, memacu adrenaline, merasa jiwa terlepas dari belenggu, pikiran penat luruh bersama jatuhnya tubuh mendekat bumi, dan hal-hal yang yang seolah membuat kita bebas hingga pada titik tertentu tali menggenggam erat kaki kita menahan laju kebebasan tadi. Kamu tahu? Tali ini adalah jelmaan dari keamanan yang nyata-nyata merenggut kebebasan kita. Keamanan dan pengaman membuat kita tidak bebas. Apa yang membuat kita bebas? Bukan keamanan, bukan pengaman. Kamu tahu parkour? Iya parkour itu seni gerak yang bertujuan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan begitu efisien dan cepat dengan menggunakan kemampuan tubuh manusia untuk melalui segala halang rintang, termasuk berpindah dari satu gedung ke gedung lain tanpa adanya pengaman yang melekat di tubuh. Untuk bisa melakukan ini pastilah harus disiplin berlatih dalam waktu yang tidak singkat. Inilah yang aku sebut bebas tanpa aman. Mereka melesat tanpa ada pengaman yang membuat mereka bebas bagai burung tanpa sangkar. Bukan pengaman atau keamanan yang membuat kita bebas tapi rasa aman. Mereka, para penggelut parkour, akan bergerak bebas karena mereka merasa aman oleh sebab telah mahir, bukan oleh sebab alat pengaman.
Dan mengapa banyak yang memilih 'aman' daripada 'bebas' ketika burung lebih memilih cakrawala ketimbang sangkar? Jika boleh aku mengibaratkan, mereka yang memilih 'aman' ketimbang bebas adalah burung yang memilih tinggal dalam sangkar. Tak perlu menggepakkan sayap untuk mencari makan, tidak perlu bergesa ketika hujan badai. Itu karena mereka tidak yakin akan dirinya sendiri, akan kemapuannya mencari makan, akan kebolehannya mengepakkan sayap. Jadi, buat mereka tak apalah terkurung murung dalam sangkar, tak melihat kemolekan alam ketika terbang mengudara, tak menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang menerjang, tak bisa bebas, asalkan persoalan makan dan minum esok hari aman.
Wednesday, March 05, 2014
Another Petrichor
Am I?
"Am I on the right track? Am I heading to my home? Am I doing right?"