Monday, November 25, 2013

Senja yang Berkawan

Senja kala itu membahagiakan walau hanya duduk-duduk bertukar cerita di sudut sebuah tempat makan yang tak pernah sepi itu. Lagi, yang patut disyukuri terkadang adalah perihal dengan siapa, bukan kapan dan di mana. Obrolan santai berbau nostalgia menyeruak di antara asap rokok milik salah satu di antara kita. Begitulah kita kelak. Seperti asap rokok itu. Satu saat mungkin waktu akan memudarkan keberadaan masing-masing dari kita. Tak lagi sanggup dilacak mata, tak lagi mampu diendus hidung. Tak banyak memang yang kita lalui bersama tapi menghabiskan hidup sebulan penuh di tempat jauh di sana bersama-sama sudah cukup mampu menjadi alasan aku bisa duduk di tempat itu berjam-jam. Semoga akan selalu ada sapa hangat "Hai, apa kabar? Kangen" yang selalu mengikat kita kala jarak ratusan kilometer nanti membentang. Semoga selalu ada tawa yang lahir ketika kalian mengingat hal-hal bodoh tentang kita. Semoga selalu bahagia, teman.



                                 Duo Padang, Aziz dan Ogie                   Mollyna dan Aziz

Bias(a)

Ada yang jelas-jelas mulai bias, mulai kabur. Aku tahu ini awal dari sebuah akhir cerita yang entah sudah dimulai atau belum. Aku kini berpijak pada debu-debu yang melekat erat pada kenangan hari-hari kemarin. Sebentar lagi tergelincir. Ah akhir yang sudah bisa ditebak sedari lama, sedari aku belum sejatuh ini.

Stranger (Again)

If we are not meant to be together, will we act like a stranger (again) to each other?

Lekat

Ada bulir-bulir serbuk kopi yang tersisa di kerongkongan, menghalangi kata-kata pilu yang harusnya terlontar tak beraturan. Sisa-sisa serbuk kopi ini terlalu pahit untuk tetap di sana. Seakan-akan, mereka melekat erat dan tak mau bergerak menghilang. Mungkin seperti halnya aku yang hanya ingin lekat denganmu, tak mau beranjak mengambil jarak. 

A Short Serious Conversation

"Sometimes the person you fall for isn't ready to catch you." -@ohteenquotes

N: No, it should be "often" not "sometimes". 
R: Aku sudah cukup kuat untuk menangkapmu, tapi tak cukup kuat untuk menggoyahkan pohon yg sedang kau naiki. 
N: Tak perlu kau goyah pohon itu karena sesungguhnya gravitasi berpihak padamu. 
R: Aku tak mampu jika harus menunggu pohon itu rapuh dan menjatuhkanmu. 
N: Menunggu saja tidak mampu, mau menangkapku? Pikirkan lagi. 
R: Tak pahamkah kau arti relatif? Umurku tak sepanjang umur pohon. 
N: Apalah artinya paham makna relatif jika tak paham bahwa aku tak setangguh itu menaiki pohon. Gravitasi ini lebih brengsek merayuku turun sebelum sempat pohon itu merobohkan diri. 
R: Karenanya lah, aku tak setangguh pohon, tak sebrengsek gravitasi. Aku hanya sekedar siap untuk menangkapmu dan membawamu pulang. 
N: Oh itu berarti sometimes the person you don't fall for is so ready to catch you? 
R: Iya, kalau kamu bisa melihat sekitar.

Sunday, November 24, 2013

Larut dalam Kopi

"Ngopi itu kebutuhan, bukan trend." -@supermomo

"Coffee is the most committed relationship I have had so far." -Evina


Ada tenang di tiap sesap kopi. Aku selalu candu pada kopi serta cerita dan tawa yang larut di dalamnya. Ada bahagia yang mengalir ketika tegukan demi tegukan kopi membasuh kerongkongan yang selalu dahaga. Aku pun begitu, Akan selalu haus akan cerita-cerita berisik yang kita buat hingga gaduh menghampiri. Aku suka saat-saat kita mengabadikan "kita" dalam kamera untuk lalu akan aku lihat-lihat lagi di hari nanti ketika kegiatan duduk-duduk-ngobrol-sambil-minum-kopi sudah susah adanya untuk dilakukan bersama.

Ngopi Doeloe | Jatinangor | 22 November 2013 | Mollyna Ezyando.


Dear, Geoda (repost)

 #30HariMenulisSuratCinta - Januari, 2012

Tetiba ingat pernah bertukar surat sama Geoda dan tetiba ingin kembali menampilkannya di sini. Hampir 2 tahun silam. Yang kali ini berbonus foto yang bersangkutan.


Cafe Pelangi, Semarang, 18 November 2013

"Hai Giustia Geoda, temanku sejak sama-sama berbaju putih abu-abu.Awalnya aku hanya bisa menyunggingkan senyum simpul membaca suratmu untukku (surat ini) beberapa waktu lalu. Lama-lama tawaku pecah seiring banyaknya deretan kata tentang aku yang begitu memalukan. Saat aku membaca kata-kata di sana, seperti ada layar besar dihadapanku yang memutar ulang semua yang telah kita lewati bersama. Kata-kata di sana tidaklah sulit dipahami tapi tidak semua yang membaca dapat memahami bagaimana kita dulu. 
Awalnya memalukan tapi berakhir memilukan. Gelak tawaku habis. Yang tersisa kemudian adalah kesedihan yang tidak tertahan ketika layar besar di hadapanku selesai memutarkan ceritanya. Seperti ada yang menepuk pundakku dan menyadarkanku bahwa semuanya tidak lagi sama. Sangat ada keinginan untuk kembali ke saat-saat di mana kita benar-benar menjadi kita dengan melakukan apa yang kita mau. Itu adalah masa sekolah yang terlalu indah untuk dilupakan hanya karena terhenti oleh jarak. 
Saat ini ketika mataku tidak seliar dahulu untuk menjumpai sosokmu, saat tanganku seperti terborgol untuk bisa menggandeng tanganmu, aku sadar kita masih sama. Waktu yang bergulir memang mengubah keadaan tapi tidak bisa mengubah bagaimana kita. Jarak yang membentang membuat kita jauh tapi tidak menjauhkan hati kita." 
Aku tulisakan lagi potongan lirik lagu yang pernah aku kirimkan melalui layanan pesan singkat lebih dari setahun lalu yang sekaligus menutup surat ini;
"…no one understands me quite like you do."
Yes, I really mean it.

A Short Amateurish Biography | 2010-2012

This was actually my final assignment for a course lectured by Bu Atwin in 5th semester.

***

It was a shinny day like other days in that month but it seemed very different for me. I felt like the sun shone much brighter than ever in that day. I could even hear the birds sang melodiously since I woke up when actually there was no bird around me. I was really excited to face that day because it was one of my big days of my life. That was the very beginning of a new part of my life. Until now, I have never stopped feeling lucky to have a chance to continue my study to a higher education at university after senior high school while many other people at my age are not as lucky as me. Many friends of mine did not continue their education and chose to get a job. That was why I called that day as my big day.

My big day started when I was standing in front of a bank together with my dad and my mom. Like other banks, the bank where I was standing was crowded. Many people passed me by fast. I asked my dad to go into the bank to do what we had to do; paying my tuition. I had successfully passed the test to be a college student at Universitas Padjadjaran and it meant that I had to pay the tuition. For the second time, I asked my dad and my mom to come in to the bank but my dad suddenly touched my shoulder and talked to me, “Are you sure to take the chance to study in UNPAD? I do not have much money. You have to be sure to take the subject you have chosen. You have to promise me that you will finish what you start today. This is a beginning of you new life and your new responsibilities. If you are not sure to take this chance, let’s go home.” My dad talked very slowly to me but I felt quite shocked. Certainly, it was not just a simple question for me. After listening to my dad’s words, I did not say anything. I asked the same question to my own self. I asked myself whether studying English at Universitas Padjadjaran was something that I really wanted. “Are you sure with your own decision?” I asked to myself and this was the only question in my head. After being silent for around two minutes, I doubtlessly said, “Yes, I am really sure. I promise you I will finish what I start today.” My mom smiled when she heard those words came out of my mouth. Maybe, she was too happy to see that I could decide something by my own self and it meant that I was not her little daughter anymore.

***


Wednesday, November 20, 2013

Tidak Tersisa

Saat tiba waktunya nanti aku mulai memudar dari rongga-rongga isi kepalamu, aku pastikan aku akan sedang berdiri di ujung jalan ini bersiap untuk berlari menjauh, mencari tempat untuk berdamai, berdamai dengan hati sendiri. Dalam lariku nanti, aku harap pikiran tentang ‘kamu’ akan dengan liarnya tercecer di jalanan duka itu. Aku ingin tidak lagi ada ‘kamu’ di kepalaku ketika tidak ada lagi ‘kita’ yang tersisa.

Tuesday, November 19, 2013

Rain of Coffee

Having a cup of coffee in the afternoon while raining outside at a delightful place with the one(s) you really love is a gift to thank for. And I was lucky enough to have that moment. I still clearly remember what we talked about in a table on the corner of that place. We talked about us, my favorite topic to talk about. We talked whether we should stop or just go on. It was such a confusing moment but I really enjoyed it. Maybe it was because all things around me at that time; the coffee maker, a cup of coffee, his cup of hot chocolate, my sweet cake, pouring rain, coldness, those beautiful walls, and all people there. There were only several tables in that place and nothing was empty. People sat on their chair comfortably and enjoyed the atmosphere. It was all warm and relaxing though I can’t help the coldness coming out of air conditioner above him. It made me hold his hands so tight, both to make me warm and to never let him go.

Wednesday, November 06, 2013

Jatuh

Ketika aku tidak lagi bersenjatakan peluang, aku tahu bahwa harap yang mengantarkan aku ke tempat ini. Aku lalu dengan begitu eratnya berpegang pada seutas tali ini; tali harapan. Tempat ini terlalu tinggi hingga tidak lagi aku dapat lihat kepingan-kepingan kesedihan yang berserakan jauh di bawah. Aku sesekali melihat ke sana dan itu membuatku lalu berandai-andai. Aku berandai-andai jika nanti, suatu saat nanti, tali yang aku genggam ini putus, aku akan serta merta meluncur jatuh ke dalam kepingan-kepingan kesedihan itu dan lalu terpuruk di dalamnya tanpa bisa meronta. Hanya tangisan mungkin yang akan menemani. Dan aku tahu, itu hanya tinggal menunggu waktunya saja. Aku hanya berharap semesta berkonspirasi untuk tidak membiarkan aku jatuh. Aamiin.

Monday, November 04, 2013

To Feel

If you ask me what the best thing we could do, my answer will always be "to feel". It doesn't matter how bad the feeling, how great the feeling, or how abstract the feeling, as long as you're able to have a feeling towards something, it's amazing. You may never understand what's going on in you, but you will always feel something. You exactly have a chance to feel some contrary feelings in the same time. Yes, human being is so unique. You're maybe happy when you're sad and in another time you may cry in your crunchy laugh. Moreover, we sometimes feel sad and happy at the same level in the same time. If you don’t, maybe it’s just me. I’m really happy when a half of me is totally sad thinking about losing him. I think this is a process of mine to be at the point that I will feel neither happy nor sad. All I feel's supposed to be just peaceful. After all, I believe that what to feel actually depends on us because we can choose what to feel by ourselves. Unfortunately, most of us have difficulty in choosing what to feel when it's surely possible to do.

Sepakat Meniadakan Kita

Ada asa yang membumbung terlalu tinggi ketika masih pagi. Ada harap yang lalu terus diintai awan gelap. Kita sepakat, ini terlalu dini untuk menjadi sebegitu jauh. Tidak usah menyesali diri untuk lebih memilih yang telah dikejar sedari dulu ketimbang yang ada. Karena mungkin nyatanya yang ada bukan yang diinginkan. Mari mulailah merentang jarak sebelum akhirnya terlalu pilu untuk tidak bersama. Hingga akhirnya kita sepakat untuk tidak lagi ada "kita" yang bernyawakan kamu dan aku.