Monday, November 25, 2013
Senja yang Berkawan
Bias(a)
Stranger (Again)
Lekat
A Short Serious Conversation
"Sometimes the person you fall for isn't ready to catch you." -@ohteenquotes
N: No, it should be "often" not "sometimes".
R: Aku sudah cukup kuat untuk menangkapmu, tapi tak cukup kuat untuk menggoyahkan pohon yg sedang kau naiki.
N: Tak perlu kau goyah pohon itu karena sesungguhnya gravitasi berpihak padamu.
R: Aku tak mampu jika harus menunggu pohon itu rapuh dan menjatuhkanmu.
N: Menunggu saja tidak mampu, mau menangkapku? Pikirkan lagi.
R: Tak pahamkah kau arti relatif? Umurku tak sepanjang umur pohon.
N: Apalah artinya paham makna relatif jika tak paham bahwa aku tak setangguh itu menaiki pohon. Gravitasi ini lebih brengsek merayuku turun sebelum sempat pohon itu merobohkan diri.
R: Karenanya lah, aku tak setangguh pohon, tak sebrengsek gravitasi. Aku hanya sekedar siap untuk menangkapmu dan membawamu pulang.
N: Oh itu berarti sometimes the person you don't fall for is so ready to catch you?
R: Iya, kalau kamu bisa melihat sekitar.
Sunday, November 24, 2013
Larut dalam Kopi
"Coffee is the most committed relationship I have had so far." -Evina
Ada tenang di tiap sesap kopi. Aku selalu candu pada kopi serta cerita dan tawa yang larut di dalamnya. Ada bahagia yang mengalir ketika tegukan demi tegukan kopi membasuh kerongkongan yang selalu dahaga. Aku pun begitu, Akan selalu haus akan cerita-cerita berisik yang kita buat hingga gaduh menghampiri. Aku suka saat-saat kita mengabadikan "kita" dalam kamera untuk lalu akan aku lihat-lihat lagi di hari nanti ketika kegiatan duduk-duduk-ngobrol-sambil-minum-kopi sudah susah adanya untuk dilakukan bersama.
Ngopi Doeloe | Jatinangor | 22 November 2013 | Mollyna Ezyando.
Dear, Geoda (repost)
Tetiba ingat pernah bertukar surat sama Geoda dan tetiba ingin kembali menampilkannya di sini. Hampir 2 tahun silam. Yang kali ini berbonus foto yang bersangkutan.
"Hai Giustia Geoda, temanku sejak sama-sama berbaju putih abu-abu.Awalnya aku hanya bisa menyunggingkan senyum simpul membaca suratmu untukku (surat ini) beberapa waktu lalu. Lama-lama tawaku pecah seiring banyaknya deretan kata tentang aku yang begitu memalukan. Saat aku membaca kata-kata di sana, seperti ada layar besar dihadapanku yang memutar ulang semua yang telah kita lewati bersama. Kata-kata di sana tidaklah sulit dipahami tapi tidak semua yang membaca dapat memahami bagaimana kita dulu.
Awalnya memalukan tapi berakhir memilukan. Gelak tawaku habis. Yang tersisa kemudian adalah kesedihan yang tidak tertahan ketika layar besar di hadapanku selesai memutarkan ceritanya. Seperti ada yang menepuk pundakku dan menyadarkanku bahwa semuanya tidak lagi sama. Sangat ada keinginan untuk kembali ke saat-saat di mana kita benar-benar menjadi kita dengan melakukan apa yang kita mau. Itu adalah masa sekolah yang terlalu indah untuk dilupakan hanya karena terhenti oleh jarak.
Saat ini ketika mataku tidak seliar dahulu untuk menjumpai sosokmu, saat tanganku seperti terborgol untuk bisa menggandeng tanganmu, aku sadar kita masih sama. Waktu yang bergulir memang mengubah keadaan tapi tidak bisa mengubah bagaimana kita. Jarak yang membentang membuat kita jauh tapi tidak menjauhkan hati kita."
Aku tulisakan lagi potongan lirik lagu yang pernah aku kirimkan melalui layanan pesan singkat lebih dari setahun lalu yang sekaligus menutup surat ini;
"…no one understands me quite like you do."
Yes, I really mean it.
A Short Amateurish Biography | 2010-2012
My big day started when I was standing in front of a bank together with my dad and my mom. Like other banks, the bank where I was standing was crowded. Many people passed me by fast. I asked my dad to go into the bank to do what we had to do; paying my tuition. I had successfully passed the test to be a college student at Universitas Padjadjaran and it meant that I had to pay the tuition. For the second time, I asked my dad and my mom to come in to the bank but my dad suddenly touched my shoulder and talked to me, “Are you sure to take the chance to study in UNPAD? I do not have much money. You have to be sure to take the subject you have chosen. You have to promise me that you will finish what you start today. This is a beginning of you new life and your new responsibilities. If you are not sure to take this chance, let’s go home.” My dad talked very slowly to me but I felt quite shocked. Certainly, it was not just a simple question for me. After listening to my dad’s words, I did not say anything. I asked the same question to my own self. I asked myself whether studying English at Universitas Padjadjaran was something that I really wanted. “Are you sure with your own decision?” I asked to myself and this was the only question in my head. After being silent for around two minutes, I doubtlessly said, “Yes, I am really sure. I promise you I will finish what I start today.” My mom smiled when she heard those words came out of my mouth. Maybe, she was too happy to see that I could decide something by my own self and it meant that I was not her little daughter anymore.
***
Wednesday, November 20, 2013
Tidak Tersisa
Tuesday, November 19, 2013
Rain of Coffee
Wednesday, November 06, 2013
Jatuh
Ketika aku tidak lagi bersenjatakan peluang, aku tahu bahwa harap yang mengantarkan aku ke tempat ini. Aku lalu dengan begitu eratnya berpegang pada seutas tali ini; tali harapan. Tempat ini terlalu tinggi hingga tidak lagi aku dapat lihat kepingan-kepingan kesedihan yang berserakan jauh di bawah. Aku sesekali melihat ke sana dan itu membuatku lalu berandai-andai. Aku berandai-andai jika nanti, suatu saat nanti, tali yang aku genggam ini putus, aku akan serta merta meluncur jatuh ke dalam kepingan-kepingan kesedihan itu dan lalu terpuruk di dalamnya tanpa bisa meronta. Hanya tangisan mungkin yang akan menemani. Dan aku tahu, itu hanya tinggal menunggu waktunya saja. Aku hanya berharap semesta berkonspirasi untuk tidak membiarkan aku jatuh. Aamiin.