Dulu waktu SD, ingat benar pernah belajar tentang macam-macam kebutuhan manusia, kebutuhan kita. Iya, ada kebutuhan primer, sekunder, dan tersier namanya. Sesuai namanya saja, kebutuhan primer sudah tentu kebutuhan yang paling utama, misalnya sandang (pakaian), pangan (konsumsi), papan (tempat tinggal), dan pekerjaan. Kalau kebutuhan sekunder itu kebutuhan yang sifatnya tidak semendesak kebutuhan primer tetapi tetap harus dipenuhi atas nama keseimbangan hidup, misalnya pendidikan , pariwisata, rekreasi, dan hiburan. Yang terakhir itu kebutuhan tersier. Singkatnya kebutuhan ini kebutuhan yang kalau bisa dipenuhi ya syukur, kalau tidak yang tidak begitu berpengaruh, misalnya mobil, perhiasan, telepon genggam, dll. Waktu SD, aku anak murid yang manis. Meng-iya-kan saja apa kata guru dan buku pelajaran. Namun, waktu mengajarkan hal lain. Semuanya tidak 'saklek' seperti ini. Mengapa? Pertama, kebutuhan akan mobil bagi seorang tukang becak mungkin hanyalah kebutuhan tersier belaka (atau malah sama sekali bukan merupakan sebuah kebutuhan), tetapi sebuah mobil bagi seorang sopir angkot merupakan kebutuhan primer. Bukan begitu? Kedua, seiring waktu terus melaju, kebutuhan akan telepon genggam bukan lagi kebutuhan tersier aku rasa. Semua butuh, kan? Mungkin sudah naik satu level ke kebutuhan sekunder atau bahkan primer.
Kebutuhan primer. Dari dulu, informasi yang selalu aku dapat tentang kebutuhan primer hanyalah kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. Sekali lagi, waktu mengajarkan hal lain. Menurutku dan bagiku ada yang harusnya masuk juga ke dalam kategori ini; kebutuhan untuk berada di rumah dan kebutuhan untuk berada di 'rumah'. Apa bedanya? Begini.
Kebutuhan untuk berada di rumah. Rumah yang aku maksud di sini sama dengan pengertian 'papan' pada contoh jadul kebutuhan primer di atas. Waktu mengajarkanku bahwa kebutuhan akan papan sama pentingnya dengan kebutuhan untuk berada di dalamnya. Rumah. Iya, rumah. Bagaimanapun kondisinya, tempat paling nyaman untuk menempatkan diri adalah rumah, yang seluk-beluk isinya kita paham betul. Kamu pasti tau rasanya berada di sebuh tempat baru yang asing. Apa yang pertama-pertama kamu perbuat? Melihat ke segala penjuru. Mencoba mempelajari tiap-tiap sudutnya. Lalu, ada rasa getir di dalam hati. Tidak nyaman. Perlu banyak adaptasi. Tetapi rumah? Rumah yang sedari kecil kita di dalamnya. Mendewasa bersama. Berubah beriringan. Begitu nyaman dan begitu akrab. Begitu akrab dengan segala isinya. Begitu akrab dengan letak telur yang ibu simpan di situ, dengan letak tempat sikat gigi di ujung sana, dengan letak colokan yang ada di sana, di sini, di samping lemari, dan di mana-mana, dengan letak gunting yang digantung bapak di tembok sana, dengan letak rak sepatu yang kebanyakan isinya adalah sepatu kakak, dengan letak kardus berisi buku-buku aku jaman dulu, dan dengan letak jemuran di atas itu. Aku yakin, kita butuh akan hal ini. Kita butuh untuk ada di dalam rumah. Untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa kita lakukan di tempat mewah sekalipun, untuk mendengar suara ibu berteriak membangunkan di waktu subuh, untuk adu argumen bersama kakak, untuk membuat kopi sendiri yang kemudian lupa diminum, untuk meminta uang kepada bapak sambil memijit pundaknya (bagian dari usaha), untuk bersama-sama mencari remote tv yang hilang ke mana, untuk beraktivitas tanpa bra, untuk bikin indomie selera sendiri yang bahan-bahannya sudah disimpan ibu di kulkas, dan untuk apapun yang kita suka. Itu menyamankan. Berada di rumah bisa membuat semuanya tampak lebih mudah. Dan kita selalu pergi untuk pulang ke rumah. Waktu mengajarkanku hal ini.
Kebutuhan untuk berada di 'rumah'. Rumah yang aku maksud di sini bukan lagi berupa bangunan fisik yang lengkap dengan pintu dan jendela. Rumah di sini adalah apa-apa yang membuat hati tentram, senyum di bibir tersungging, binar di mata semakin nyata, telinga makin terbuka lebar tanda siap menampung apa-apa yang terlontar, kaki makin lincah bergerak, dan sinyal-sinyal positif di otak makin kencang. Berada di 'rumah' bisa saja berarti berada di tengah-tengah orang-orang tertentu, misalnya di tengah-tengah teman SMA, di samping kekasih, di sudut yang tidak terlihat oleh orang yang sedang kita tatap dalam-dalam, dan atau di tengah-tengah teman organisasi ketika rapat hingga larut. Berada di 'rumah' bisa saja berarti berada di tempat tertentu, misalnya di depan tv sambil menonton serial favorit, di kamar yang menurut kita paling nyaman dunia akhirat walaupun baju-baju berserakan di mana-mana, di kamar ibu, di bioskop, di bis dalam perjalanan ke rumah, di warung kopi, di frekuensi radio tertentu dengan lagu dan penyiar favorit, di toko buku, di rumah ibadah atau di sudut kampus. Dan kukira berada di 'rumah' bagi sebagian orang berarti berada dalam pelukan seseorang. Entah siapapun itu. Pelukan yang hangat. Menenangkan. Tapi betapa beruntungnya mereka yang rumahnya adalah juga 'rumah' baginya.
Dan lagi. Seperti apa yang waktu ajarkan padaku; semuanya bersifat subjektif dan berbeda-beda bagi setiap kamu. Ini hanyalah menurut aku. Terserah kalau kamu bagaimana. Yang pasti, aku selalu yakin bahwa Tuhan tidak hanya memberikan apa yang kita butuh. Ia juga memberikan apa yang kita ingin. Sebab, kita butuh apa yang kita inginkan dan ingin apa yang kita butuhkan.